Friday, January 15, 2010

Rekomendasi Solusi UN oleh eF/TeKUN dan FGII



REKOMENDASI TIM ADVOKASI KORBAN UJIAN NASIONAL (TeKUN)
DAN EDUCATION FORUM (eF)


I. TINJAUAN RINGKAS PENELITIAN-PENELITIAN SEPUTAR UJIAN KELULUSAN


Keteguhan sikap pemerintah untuk menjadikan hasil UN/UASBN sebagai syarat kelulusan didasarkan pada asumsi bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa, di samping motivasi para guru. Namun, cara pandang tersebut mengabaikan faktor-faktor yang berkaitan erat dengan prestasi belajar siswa, antara lain: status sosial ekonomi siswa dan sekolah.
J. Douglas Willms (2006) dari UNESCO Institute For Statistics dalam laporannya berjudul “Learning Divides: Ten Policy Questions about the Performance and Equity of Schools and Schooling Systems” mengelompokkan sistem akuntabilitas pendidikan, antara lain melalui ujian kelulusan, ke dalam bentuk intervensi universal (universal interventions). Intervensi tersebut merupakan sebuah kebijakan yang diterapkan pada seluruh siswa dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi akademis mereka. Namun, intervensi universal berpotensi melanggengkan atau malah memperlebar kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi karena telah terbukti secara empiris betapa eratnya keterkaitan antara prestasi akademis siswa dan latar belakang sosial ekonomi keluarga dan kondisi sekolah.
Perlu diingat pula, bahwa siswa-siswa di Finlandia mampu mencatat prestasi gemilang dalam PISA (The Programme for International Student Assessment) meskipun tidak ada ujian kelulusan. Satu-satunya ujian berskala nasional yang dilaksanakan adalah ujian matrikulasi sebagai syarat untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Sejauh ini, penelitian-penelitan seputar hubungan kebijakan penggunaan hasil ujian untuk mengambil keputusan yang berdampak besar terhadap masa depan siswa (high-stakes testing), misalnya menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan ataupun kenaikan kelas, dengan peningkatan prestasi akademis siswa masih memberikan hasil yang bertolak belakang, sebagaimana tampak pada ringkasan di bawah ini.

1. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut meningkatkan prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran yang diujikan (Bishop, Mane, Bishop, & Moriarty, 2001; Phelps, 2001), namun penelitian lain menunjukkan tidak ada kontribusi positif (Amrein & Berliner, 2003; Jacob, 2001).
2. Dee dan Jacob (2006) menunjukkan bahwa ujian kelulusan hanya meningkatkan prestasi akademis siswa dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi dan kondisi sekolah yang lebih baik.
3. Penelitian Jaekyung Lee (2006) yang dilakukan di 50 negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pendekatan yang hanya memfokuskan pada performance tidak efektif meningkatkan prestasi akademis siswa tanpa dukungan input yang memadai. Lee mendefinisikan input sebagai biaya penyelenggaraan pendidikan yang dibutuhkan oleh tiap siswa per tahun, jumlah siswa dalam tiap kelas, dan kesesuaian antara latar belakang pendidikan guru dan bidang studi yang diajarkan.
4. Terdapat keterkaitan yang erat antara status sosial ekonomi orang tua dan kondisi sekolah dengan prestasi akademis. Hal ini telah mendapatkan dukungan empiris yang kokoh, bahkan melalui penelitan yang menggunakan data dari berbagai negara (Willms, 2006; Fuchs dan Wöβmann, 2007).
5. Penelitian-penelitian yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal international menunjukkan pula berbagai dampak negatif yang menyertai kebijakan high-stakes testing, seperti ujian kelulusan.
Dampak-dampak negatif tersebut, antara lain:
a. kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga siswa (Dee & Jacob, 2006; Willms, 2006);
b. peningkatan resiko putus sekolah, terutama bagi
• siswa yang berasal keluarga tidak mampu (Cunningham & Sanzo, 2002; Dee & Jacob, 2006; Marchant & Paulson, 2005; National Research Council, 1997; Reardon, 1996; Warren, Jenkins, & Kulick, 2006);
• siswa dari kelompok minoritas (Dee & Jacob, 2006; National Research Council, 1997; Reardon, 1996; Warren, Jenkins, & Kulick, 2006);
• siswa dengan prestasi akademis yang rendah (Archer & Dresden, 1987; Bishop & Mane, 2001; Jacob, 2001).
c. Penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga mata pelajaran yang tidak diujikan menjadi terabaikan (Gayler, Chudowsky, Hamilton, Kober, & Yeager, 2004; Jones, Jones, & Hargrove, 2003; Watanabe, 2006);
d. proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal (Abrams, Pedulla, & Madaus, 2003; Jones, Jones, & Hargrove, 2003; Vogler, 2005; Zao, 2006);
e. tekanan berlebihan yang dirasakan oleh siswa (Gregory & Clarke, 2003);
f. tekanan berlebihan yang dirasakan oleh guru (Abrams, Pedulla, & Madaus, 2003).


II. BEBERAPA REKOMENDASI


A. SYARAT KELULUSAN

1. Menggunakan penilaian yang diberikan oleh guru dalam bentuk nilai rata-rata siswa. Nilai rata-rata tersebut dapat diambil dari seluruh pelajaran atau beberapa pelajaran yang disepakati bersama dengan mempertimbangkan bahwa semua sekolah mengajarkan mata pelajaran yang digunakan sebagai syarat kelulusan tersebut. Idealnya, nilai rata-rata tersebut dihitung sejak tahun pertama siswa di suatu jenjang pendidikan agar lebih mencerminkan keseluruhan proses belajar yang dijalani siswa dan memperkaya informasi yang digunakan dalam menentukan kelulusan siswa.

2. Mengombinasikan nilai yang diperolah dari sekolah selama beberapa tahun dan nilai UN untuk mata pelajaran yang bersangkutan dengan memberikan bobot pada setiap komponen sebagaimana pernah dipraktekkan di era EBTANAS.

Misalnya:

Seorang siswa dinyatakan lulus suatu mata pelajaran yang disyaratkan apabila

(Nilai Semester I + Nilai Semester II + ...+ Nilai Semester VI + nilai UN)/7


3. Menggunakan indeks prestasi kumulatif siswa sebagai syarat kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan dengan standar kelulusan yang ditentukan oleh sekolah. Akan tetapi, penggunaan indeks prestasi kumulatif ini membutuhkan penyesuaian dalam sistem penilaian karena selama ini sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan penilaian dengan angka, berbeda dengan indeks prestasi kumulatif yang menggunakan huruf (A = 4, B = 3, dan seterusnya)


Alternatif 1 dan 3 di atas menyerahkan sepenuhnya kelulusan siswa pada guru dan sekolah. Saat ini memang masih berkembang keraguan terhadap konsistensi penilaian yang dilakukan oleh guru. Akan tetapi, penilaian yang diberikan oleh guru sebenarnya memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

a. guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk menilai, dan pada saat yang sama, mengembangkan kemampuan siswa melalui beragam model penilaian dan aktivitas;
b. penilaian-penilaian yang dilakukan oleh guru berdampak langsung pada perbaikan proses belajar siswa karena adanya umpan balik yang bisa dilakukan segera;
c. Penelitian-penelitian seputar seleksi penerimaan mahasiswa baru yang pernah dilakukan di AS menunjukkan bahwa indeks prestasi kumulatif di SMA, yang merupakan akumulasi dari penilaian-penilaian yang diberikan oleh guru, memiliki kemampuan yang lebih besar dalam memprediksi prestasi akademis di perguruan tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil tes standar yang didasarkan pada penguasaan materi di SMA, seperti Scholastic Achievement Test II (SAT II) dan American College Testing (ACT), maupun yang didasarkan pada kemampuan umum dalam matematika dan bahasa, seperti Scholastic Aptitude Test (SAT).

B. PEMETAAN MUTU PENDIDIKAN

Profesor S. Hamid Hasan mengusulkan untuk mengubah UN menjadi Evaluasi Kualitas Pembelajaran dan Hasil Belajar (EKPHB). Evaluasi ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia. EKPHB tersebut tidak ditujukan sebagai bagian atau alat untuk menentukan keberhasilan peserta didik dari suatu satuan pendidikan (sebagaimana yang dilakukan UN) tetapi sebagai alat untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian kualitas/kompetensi hasil belajar peserta didik, dan kemampuan guru dalam mengembangkan proses atau pelayanan pembelajaran serta kondisi sekolah dilihat dari berbagai aspek standar proses .
EKPHB tersebut dilaksanakan sebagai berikut:
1. Untuk SD evaluasi paling lambat dilakukan di kelas 3 dan 4 sehingga ada waktu 2 atau 3 tahun bagi satuan pendidikan tersebut untuk berbenah. Tindakan pembinaan kualitas yang diperoleh dari kelas 3 dan 4 digunakan untuk memperbaiki seluruh pelayanan pembelajaran di sekolah tersebut.
2. Untuk SMP sederajat dan SMA sederajat, evaluasi dilakukan di akhir kelas 1 atau kelas 2 sehingga sekolah tersebut memiliki waktu 1 atau 2 tahun untuk memperbaiki kualitas pelayanan yang diperlukannya untuk memberikan hasil belajar yang memenuhi SKL. Jika dilakukan pada kelas terakhir maka makna hasil evaluasi itu hanya berguna bagi peserta didik tahun berikutnya sedangkan mereka yang sekarang berada di tahun terakhir tidak mendapatkan manfaatnya.
3. Evaluasi kualitas pembelajaran dan hasil belajar dapat dilakukan oleh BSNP bekerjasama dengan Pusat Pengujian dan Pusat Kurikulum di tingkat pusat sedangkan di tingkat daerah dapat dilakukan oleh dinas pendidikan bekerjasama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).

Kunci penting dalam pelaksanaan EKPHB adalah adanya kejelasan hasil-hasil pemetaan mutu dan skema-skema intervensi yang akan dilakukan. Intervensi tersebut dapat berupa bantuan ataupun pembinaan-pembinaan yang diberikan pada sekolah-sekolah yang belum mencapai standar mutu yang ditetapkan. Akan tetapi, masyarakat tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas tentang hasil-hasil pemetaan mutu ataupun skema-skema intervensi yang akan diterapkan. Ketidakjelasan pemetaan mutu maupun skema-skema intervensi tersebut hanya menjadikan UN sebagai rutininas tahunan yang menelan biaya besar tanpa manfaat yang berarti bagi perbaikan kualitas pendidikan di tanah air.


C. SYARAT UNTUK MEMASUKI JENJANG PENDIDIKAN BERIKUTNYA

1. Seleksi Penerimaan Siswa Baru tingkat SMP dan sederajat ataupun SMA dan sederajat

Hasil UN SMP dan UASBN saat ini digunakan sebagai kriteria penerimaan siswa baru. Tidak dipungkiri bahwa terbatasnya jumlah sekolah bermutu di tanah air melahirkan kompetisi yang ketat untuk mendapatkan peluang mendapatkan pendidikan yang bermutu. Penggunaan hasil UN merupakan alternatif yang mudah untuk menyaring siswa.
Di satu sisi kebijakan ini dapat memotivasi siswa untuk berlomba menjadi yang terbaik, namun di sisi lain dapat berpotensi melanggengkan kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dan melahirkan lingkaran elite pendidikan. Parahnya lagi, kebijakan ini pun telah dimulai sejak level pendidikan dasar yang seharusnya memberikan akses pendidikan bermutu secara luas bagi seluruh anak tanpa membedakan kemampuan akademis mereka, yang ternyata amat dipengaruhi pula oleh kondisi sosial ekonomi.
Serangkaian penelitian yang pernah dilakukan di negara-negara Eropa Tengah dan Timur, antara lain Bulgaria, Estonia, Latvia, Hungaria, Rumania, dan Serbia, menunjukkan bahwa seleksi penerimaan siswa baru berdasarkan prestasi akademis mereka akan memperlebar kesenjangan mutu pendidikan yang diperoleh berdasarkan status sosial ekonomi mereka. Kesenjangan tersebut akan semakin tajam bila proses seleksi tersebut telah dilakukan sejak usia dini.
Seleksi penerimaan siswa berdasarkan hasil ujian semestinya tidak dipandang sebagai solusi ideal, tapi merupakan langkah darurat karena ketidakberdayaan kita menyediakan lebih banyak sekolah-sekolah bermutu. Ke depan, sistem rayonisasi dalam penerimaan siswa baru dapat dipertimbangkan kembali.

2. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Di tingkat SMA dan sederajat, UN dapat dipertimbangkan sebagai salah satu syarat penerimaan mahasiswa baru sebagaimana wacana integrasi UN dan SNMPTN. Tentu saja rencana integrasi ini membutuhkan penyesuaian-penyesuaian karena adanya perbedaan antara tujuan UN dan SNMPTN.
Persoalan penting yang masih menghambat rencana integrasi UN dan SNMPTN tersebut kredibilitas UN itu sendiri. Kualitas teknis UN, seperti keandalan (reliability), kesahihan (validity) , maupun keadilan (test fairness) masih menjadi tanda tanya. Hal lain yang masih mengganjal adalah kecurangan-kecurangan pelaksanaan UN yang masih terjadi. Beberapa kasus kecurangan sempat mencuat dan diliput media massa, namun ditengarai jauh lebih banyak kasus-kasus kecurangan yang menjadi rahasia umum. Selama kredibitas UN masih rendah, tentu terlalu berisiko bila menjadikan UN sebagai alat seleksi masuk perguruan tinggi.


D. EVALUASI KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL

1. Kebijakan penyelenggaraan UN/UASBN perlu dievaluasi secara jujur, terbuka, dan jernih karena asumsi yang melandasi kebijakan tersebut masih lemah, selain dominannya dampak negatif ketimbang dampak positif. Selain itu, kebijakan UN/UASBN juga tidak terencana dengan baik. Terbukti dari berbagai aturan dadakan yang tidak disosialisasikan dalam waktu yang memadai, misalnya dimajukannya waktu pelaksanaan UN dan kebijakan ujian ulang yang hanya diumumkan beberapa bulan sebelum UN dilakukan sehingga sekolah terpaksa melakukan pemadatan-pemadatan kurikulum.

2. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kebijakan UN pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memfokuskan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pengurangan kesenjangan mutu pendidikan di tanah air melalui kebijakan-kebijakan yang lebih strategis dan tepat, misalnya dengan memfokuskan pada pencapaian Standar nasional pendidikan lainnya, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan, selain standar penilaian pendidikan yang di dalamnya meliputi penilaian yang dilakukan guru dan sekolah. Tentu tidak rasional bila pemerintah menuntut output yang tinggi tanpa benar-benar membenahi input dan proses. Dengan kata lain, pemerintah seharusnya tidak hanya terpaku pada upaya meningkatkan mutu melalui kebijakan UN/UASBN yang masih kontroversial. A Malik Gismar (Kompas, 26 November 2009) menyebutkan bahwa “Dari data cohort 1986-2006, bila kita ikuti mereka yang masuk kelas I SD di Indonesia secara longitudinal, maka rata-rata pada tahun keenam yang tidak lulus SD sekitar 27 persen dan pada tahun kesembilan yang tidak lulus SMP 55,8 persen. Sementara itu, pada tahun ke-12 yang tidak lulus SMA adalah 75,5 persen (ESR World Bank, 2007).“ Gismar menyatakan masih besarnya porsi pembiayaan pendidikan yang ditanggung oleh orang tua berkontribusi terhadap tingginya angka putus sekolah tersebut. Liputan Kompas (11 Desember 2009) melaporkan 2,2 juta anak usia wajib belajar belum tersentuh pendidikan dasar sembilan tahun bahwa angka putus sekolah, yang antara lain disebabkan oleh sulitnya akses ke sekolah, kurangnya kesadaran orang tua, dan faktor ekonomi.

3. Informasi tentang penelitian-penelitian tentang efektivitas pelaksanaan UN untuk meningkatkan mutu pendidikan maupun motivasi siswa serta berbagai dampak-dampak negatif pelaksanaan UN belum dapat diakses oleh publik secara mudah. Alangkah baiknya bila website Departemen Pendidikan Nasional juga memuat hasil-hasil penelitian seputar ujian nasional. Mahasiswa maupun peneliti perlu diberi akses untuk menggunakan data-data hasil UN dalam penelitian mereka. Hasil-hasil penelitian tersebut akan sangat berguna dalam mengevaluasi akuntabilitas kebijakan UN.

4. Pihak-pihak yang yang pro dan kotra terhadap kebijakan UN, perlu duduk bersama disertai keterbukaan, kejernihan, dan kejujuran dalam menguji asumsi-asumsi yang melandasi kebijakan tersebut untuk keluar dari polemik yang berkepanjangan dan mencari solusi-solusi yang lebih tepat dan strategis dalam upaya memberikan pendidikan bermutu bagi seluruh anak Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, L. M., Pedulla, J. J. & Madaus, G. F. (2003). Views from the classroom: Teacher’s opinions of statewide testing programs [Electronic Version]. Theory into Practice, 42(1), 18-29.
Amrein, A. L, & Berliner, D. C. (2003). The effect of high-stakes testing on student’s
motivation and learning. Educational Leadership, 60(5), 32-38.
Archer, E. L., & Dresden, J. H. (1987). A new kind of dropout: The effect of minimum competency testing on high school graduation in Texas. Education and Urban Society, 19(3), 269-279.
Bishop, J. H. & Mane, F. (2001). The impacts of minimum competency exam graduation
requirements on high school graduation, college attendance and early labor market success. Labour Economics, 8 , 203-222.
Bishop, J. H., Mane, F., Bishop, M., Moriarty, J. (2001). The role of end-of- course exams and minimum competency exams in standards-based reforms. In D. Ravitch (Ed.), Brookings papers on education policy (pp. 267-330). Washington, DC: Brookings Institution.
Cunningham, W. G., & Sanzo, T. D. (2002). Is high-stakes testing harming lower socioeconomic status schools? NASSP Bulletin, 88(631), 62-74.
Dee, T. & Jacob, B. A. (2006). Do high school exit exams influence educational attainment or labor market performance? Working Paper 12199. Cambridge, MA: National Bureau of Economic Research.
Gregory, K., & Clarke, M. (2003). High-stakes assessment in England and Singapore. Theory into Practice, 42(1), 66-74.
Griffin, B. W., & Heidorn, M. H. (1996). An examination of the relationship between minimum competency test performance and dropping out of high school. Educational Evaluation and Policy Analysis, 18(3), 243-252.
Hanushek, E. A. & Raymond, M. E. (2001). The confusing world of educational accountability [Electronic version]. National Tax Journal, 54(2), 365-384.
Jacob, B. (2001). Getting tough? The impact of high school graduation exams. Educational Evaluation and Policy Analysis, 23(2), 99-121.
Jones, M.G., Jones, B.D., & Hargrove, T.Y. (2003). The unintended consequences of high-stakes testing. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Lee, J. (2006). Input-guarantee versus performance-guarantee approaches to school accountability: Cross-state comparisons of policies, resources, and outcomes [Electronic version]. Peabody Journal of Education, 81(4), 43-64.
Marchant,G. J. & Paulson, S. E. (2005). The relationship of high school graduation exams to graduation rates and SAT scores. Education Policy Analysis Archive, 13(6), 1-17. Retrieved March 10, 2006 from http://epaa.asu.edu/epaa/v13n6.
National Research Council. (1997). High stakes: Testing for tracking, promotion, and graduation. Washington, DC: National Academy Press.
Ravich, D. (2001). Introduction. In D. Ravich (Ed.), Brookings Paper on Education Policy (pp. 1-8). Washington, DC: Brookings Institution Press.
Phelps, R. P. (2001). Benchmarking to the world’s best in mathematics: Quality control in curriculum and instruction among the top performers in the TIMSS. Evaluation Review, 25(4), 391-439.
Vogler, K. E. (2005). Impact of a high school graduation examination on social studies teachers’ instructional practices. Journal of Social Studies Research, 29(2), 19-33.
Warren, J. R., Jenkins, K.N., & Kulick, R. B. (2006). High school exit examinations and state-level completion and GED rates, 1975 through 2002. Educational Evaluation and Policy Analysis, 28(2), 131-152
Watanabe, M. (2007). Displaced teacher and state priorities in a high-stakes accountability context. Educational Policy, 21(2), 311-368.
West, M. R., & Peterson, P. E. (2003). The politic and practice of accountability. In P. E. Peterson & M. R. West (Eds.), No Child Left Behind? The politics and practice of school accountability (pp. 1-20). Washington, DC: Brookings Institution Press.
Willms, J. D. (2006). Learning divides: ten policy questions about the performance and equity of schools and schooling systems. Montreal: UNESCO Institute for Statistics.
Zhao, Y. (2006). Are we fixing the wrong thing? Educational Leadership, 63(8), 28-31.




Read More..

Monday, January 11, 2010

FOCUS GROUP DISCUSSION FGII-KOMNAS HAM



FGD SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS HAK ASASI MANUSIA > FGD yang diselengarakan atas kerjasama DPP FGII - Komnas HAM diikuti oleh 15 peserta dari beragam lembaga/organisasi: Elin Driana (Education Forum (eF)/Dosen PTS); Akhmad Leksono, SH. (Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan/LBHP); Rusmarni Rusli (Komite Advokai Penyandang Cacat Indonesia/Kapci); Widji Sri Rahayu (Solidaritas Perempuan); Aan (Front Mahasiswa Nasional); Ester Lince (Pemerhati Pendidikan); Merlyn (Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal/Lapam); Iwan Hermawan (Koalisi Pendidikan Kota Bandung/KPKB); Virgo (PP Ikatan Pelajar Muhamadyah /IPM); Haris Winarto (SP Lembaga Indonesia Amerika Teacher Assosiation/SP-LIATA); Fildzah Izzati (Mahasiswa Fisip UI/PRP) Teguh Slamet Wahyudi (DPC FGII Depok), Nurafiatin (DPDFGII Jabar), Luthfi (Forum Pelajar Jabar), Ahmad Basori (PB Pejarar Islam Indonesia/PII)


FGD DPP FGII - Komnas HAM dimulai dengan narasumber pemantik Mas Darmaningtyas (Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Penulis Buku Pendidikan Rusak-Rusakan, Menggugat UU BHP dan sejumlah kritik terhadap pendidikan yang tertuang dalam sejumlah buku) yang mengantarkan diskusi dengan membawakan sebuah makalah berjudul “Mengapa Saya Menolak UN?”. Singkatnya ada sembilan alasan yang dikemukakan mas Tyas:

1. UN merupakan cermin berfikir dan bertindak tidak logis dan pemaksaan kehendak kepada murid ;
2. UN sebagai penentu kelulusan itu melanggar UU Sisdiknas. Pasal 58 menyatakan: bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan;
3. Ketidak-konsistenan antara kurikulum dengan model evaluasi belajarnya. Pada tahun 2004 pemerintah ceq Departemen Pendidikan Nasional memperkenalkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian diubah (2006) menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Logisnya, kalau kurikulumnya KBK ataupun KTSP, maka evaluasinya ya pada tingkat sekolah, bukan nasional. Bila kurikulumnya KTSP tapi evaluasi belajarnya pakai UN, ibaratnya kurikulumnya berjalan ke selatan, evaluasi belajarnya berjalan ke utara. Logisnya, tidak pernah akan ketemu, kalau dipaksakan bertemu, maka pasti ada yang dikorbankan;
4. Ketidak-logisan secara substansi. Dua materi yang di UN-kan untuk SMP – SMTA adalah Bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai bahasa keduanya itu berfungsi untuk alat komunikasi, tapi ujiannya obyektif. Kalau mau menguji kompetensi berkomunikasi, maka mestinya ujiannya praktek, karena melalui prakteklah kemampuan berbahasa seseorang dapat teruji. Kalau obyektif jelas tidak akan mampu mengukur kemampuan berkomunikasi seseorang karena prakteknya dalam berkomunikasi lisan, kaidah-kaidah bahasa resmi sering terlanggar, yang penting komunikasinya dapat dipahami oleh lawan bicara;
5. Tidak adil dan diskriminatif. Indonesia ini beragam dari aspek geografis, alam, ekonomis, infrastruktur, status sosial, budaya. Tapi keragaman yang sangat kompleks itu diukur dengan cara yang sama (tunggal), yaitu nilai batas minimum kelulusan;
6. ketidak-jelasan fungsi UN, terutama untuk UN SD/MI/SDLB dan SMA/SMK/MA, karena SD – SMP mestinya satu proses penjenjangan yang berlanjut sebagai satu paket pendidikan dasar yang harus terpenuhi
7. pelaksanaan UN di tingkat SMTA, terutama bagi murid SMA/MA, tidak memperhitungkan beban psikologi anak, akibat keegoan masing-masing instansi.
8. UN sebetulnya menghilangkan kredibilitas guru karena digantikan oleh bimbingan tes. Wajar bila ada usulan bubarkan sekolah dan ganti dengan Bimbel.
9. UN ini sama sekali mengabaikan hak-hak pendidikan bagi kaum difable karena ukuran kelulusannya adalah tunggal menurut standar orang yang tidak mengalami hambatan fisik.

FGD dipandu sangat apik oleh Dan Satriana (Direktur Lembaga Advokasi Pendidikan/LAP Kota Bandung) yang mendorong setiap peserta saling berkomunikasi secara terbuka untuk membedah persoalan pendidikan dari kaca mata HAM. Sejumlah persoalan yang mengemuka dalam FGD antara lain :

 Masalah ketersediaan pelayanan
 Belum terpenuhinya SPM
 Kesenjangan pemenuhan sarana prasarana
 Kualifikasi, Kompetensi, dan Kesejahteraan tenaga pendidikan tidak memadai.
 Akses informasi yang tidak tersedia secara merata
 Kemudahan untuk penyelenggaraan pendidikan.
 Hambatan akibat syarat administrasi spt. akte kelahiran,
 Seleksi masuk sekolah terutama pendidikan dasar;
 Masalah Standardisasi Sekolah yang berujung pada diskriminasi (SBI, RSBI,SSN, SKM)
 Sekolah-sekolah bagi anak berkebutuhan khusus masih terbatas
 Tindakan afirmatif bagi kelompok perempuan.
 Akses perguruan berpihak pada yang kaya
 Kurikulum: Tidak meng-akomodir kebutuhan dan kekhasan
 Metode : Masih mengabaikan hak anak
 Masih Munculnya Kekerasan di lingkungan pendidikan
 Warga belajar/ anak tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan pendidikan
 Pendidikan masih berpusat pada guru dan kekuasaan.

Solusi yang disampaikan peserta FGD secara kelembagaan dan sosial budaya antara lain :
• Diskusi publik mengenai UU BHP
• Diskusi dengan sekolah terkait korban UN sebagai basis fakta untuk advokasi
• Penghapusan syarat-syarat penerimaan siswa baru di kota/ kabupaten yang memberatkan. Kaitkan dengan hak kewarganegaraan anak. Termasuk seleksi akademik.
• Pilihan bagi anak kebutuhan khusus untuk mengakses sekolah inklusi.
Kewajiban sekolah menjadi sekolah inklusi.
• Pengembangan program yang memungkinkan kerjasama semua pihak
• Membuat kurikulum multiklutur anak
• Penghapusan pekerja anak
• Peningkatan profesionalisme guru melalui peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja (hak dasar dan pengembangan kapasitas)
• Sosialisasi UU Perlindungan Anak bagi guru dan warga belajar
• Memperluas dorongan untuk eksekusi putusan MA soal UN
• Pendidikan berbasis keluarga (alternatif untuk anak dengan kebutuhan dan kondisi khusus).

Disadari bahwa FGD ini sebagai awal untuk semakin mendalami sejumlah persoalan pendidikan lainnya maka peserta mengusulkan sejumlah rencana tindak alnjut :
• Menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan mengenai UN;
• Menyusun pemetaan masalah dan indikator HAM dalam kebijakan pendidikan dengan mengacu pada sejumlah instrumen HAM;
• Pertemuan lebih luas untuk sosialisasi dan persiapan advokasi dan kampanye;
• Pertemuan dengan Mendiknas dan Komisi X DPR RI (UN dan UU BHP)
• Melakukan gerakan kultural dalam bentuk kampanye pelanggaran HAM dalam kebijakan UN, UU BHP dan kebijakan pendidikan lainnnya;

Semua peserta bersepakat :
1. Menjadikan Problem HAM dalam kebijakan Ujian Nasional dan UU BHP sebagai pintu masuk untuk membedah persoalan pendidikan lainnya;
2. Gerakan perbaikan pendidikan tidak hanya berhenti di ruang diskusi (dari forum ke forum) tetapi terus maju dalam aksi nyata meskipun akan menghadapi banyak hambatan;
3. Membangun jaringan seluas-luasnya karena gerakan perbaikan pendidikan bukan hanya ranah komunitas pendidikan tetapi harus menjadi gerakan semua masyarakat.



Read More..