Friday, June 18, 2010

Guru Swasta Perlu Kepastian Posisi Hukum




PERLUNYA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SEKOLAH SWASTA
DISAMPAIKAN SECARA TERBUKA KEPADA DPR RI DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
PONOROGO, 13 JUNI 2010

Historis :
Sepanjang sejarah pergerakan nasional menuju kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia peran perguruan swasta sangat penting. Seperti perguruan Ma’arif, perguruan Muhammadyah, perguruan Taman Siswa, INS Kayu Tanam dll mempunyai peran penting dalam menyiapkan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional yang merupakan the founding fathers negara tercinta Republik Indonesia.

Ki Hadjar Dewantoro sendiri yang menjadi Menteri Pendidikan Nasional pertama sekaligus Bapak pendidikan nasional yang hari lahirnya diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional adalah pendiri sekaligus guru/pendidik di perguruan swasta Taman Siswa. Oleh karena itu dapat dibilang perguruan swasta termasuk didalamnya para guru swasta punya andil besar dalam meyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa sekaligus berperan penting mengantarkan Republik Indonesia ini merdeka dari kekuasaan penjajah.

Akan tetapi sepanjang perjalanan sejarah sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan RI sampai saat ini para guru/pendidik perguruan swasta belum memperoleh kondisi kerja yang terbaik sesuai dengan amanat konstitusi. Selama 65 tahun kemerdekaan posisi guru swasta seolah terlepas dalam konstelasi berbagai kebijakan perbaikan pendidikan di Indonesia. Ketika para guru PNS sudah memperoleh kejelasan status dan kedudukan hukumnya dengan gaji rutin dan sejumlah tunjangan serta kondisi kerja yang memadai, sebagian besar guru swasta masih terus menggantungkan nasibnya pada dukungan dana masyarakat yang rata-rata berpenghasilan terbatas. Meskipun sejumlah subsidi pemerintah diberikan tetapi sampai saat ini belum dapat mengangkat kondisi kerja guru swasta menjadi lebih baik. Banyak diantaranya masih memperolehi rata-rata gaji/penghasilan dibawah Upah Minimum Provinsi/ Kabupaten/Kota tanpa memiliki jaminan sosial tenaga kerjanya.

Dengan tumpuan utama dukungan dana dari masyarakat yang sebagian besar adalah masyarakat tidak mampu/miskin maka akan terasa dilematis jika harus memaksakan masyarakat untuk memenuhi hak-hak dasar guru swasta tersebut sementara sebagian besar misi perguruan swasta lebih berorientasi sosial dalam rangka merealisasikan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membantu masyarakat miskin/tidak mampu untuk bisa memperoleh hak dasarnya atas pendidikan.

Meskipun kebijakan pemerintah saat ini perlu mendapatkan apresiasi dengan mengikutsertakan guru-guru swasta dalam program sertifikasi untuk memperoleh tunjangan profesi ditambah dengan subsidi tunjangan fungsional namun masih terasa jauh dari harapan agar guru-guru swasta dapat memperoleh kondisi kerja dan perlindungan yang lebih baik sebagaimana yang diperoleh guru-guru PNS. Oleh karena itu dalam waktu dekat seiring dengan keinginan pemerintah, DPR RI dan masyarakat untuk memperbaiki pendidikan menjadi lebih baik lagi maka perlu ada arah perubahan yang tepat dan signifikan dalam menata kembali posisi guru swasta agar setara dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan di Indonesia.

Sesuai dengan seruan Education International (EI) maka usaha untuk memperbaiki kondisi kerja guru swasta (dan guru di Indonesia pada umumnya) pada dasarnya sama artinya dengan memperbaiki kondisi belajar anak-anak Indonesia. Karena guru yang sejahtera, berkualitas dan terlindungi adalah bagian terpenting dari hak-hak anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Peta kondisi kerja guru swasta :
1. Mayoritas bekerja pada satuan pendidikan yang didukung oleh masyarakat tidak mampu/ miskin;
2. Memperoleh gaji dibawah UMP antara Rp. 150.00,- sampai Rp. 700.000,- bahkan masih ada yang bergaji Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,-;
3. Tidak memiliki jaminan sosial tenaga kerja baik untuk memberikan perlindungan pelayanan kesehatan, perawatan kesehatan bagi diri dan keluarganya dan tanpa jaminan hari tua;
4. Rentan di PHK secara sepihak oleh penyelengara pendidikan;
5. Tidak memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat bersama antara penyelenggara pendidikan dengan organisasi/serikat guru pada satuan pendidikan tempatnya bekerja. Saat ini yang dimiliki hanyalah Perjanjian Kerja (PK) yang bersifat individual dan sepihak sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh penyelenggara pendidikan;
6. Tidak memiliki organisasi guru di tingkat satuan pendidikan yang dapat memberikan perlindungan jika diperlukan;
7. Memperoleh kuota program sertifikasi yang tidak seimbang dengan satuan pendidikan milik pemerintah;
8. Tidak memperoleh kesempatan secara adil untuk mengikuti program-program peningkatan profesi, kualifikasi dan pendidikan lanjutan dari pemerintah;
9. Tidak memiliki payung hukum yang pasti untuk memperoleh kesempatan dan kepastian hukum mendapatkan status PNS /guru Negara dan tidak adanya kepastian untuk memperoleh hak-hak kesejahteraannya dari Negara;
10. Memiliki tugas dan kewajiban yang sama tetapi memperoleh hak dan pengakuan yang berbeda dengan guru PNS
11. Beragamnya sistem pengelolaan guru di berbagai pemerintahan daerah sehingga menimbulkan kesenjangan jaminan kesejahteraan antar daerah.

Rekomendasi/Aspirasi :
Seiring dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang disusun dengan semangat memberikan perlindungan perlindungan hukum, perlindungan profesi, kesehatan dan keselamatan kerja kepada guru, menghapus diskriminasi guru, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru maka dengan ini Presidium Guru Swasta Indonesia (PGSI) menyampaikan aspirasi bersama dan mendesak Pemerintah untuk secepatnya menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Guru dan Tenaga Kependidikan Sekolah Swasta dengan mengikutsertakan Presidium Guru Swasta Indonesia. Peraturan Pemerintah tersebut harus memuat pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a. Pengaturan kesempatan yang adil bagi guru dan tenaga kependidikan sekolah swasta untuk memperoleh pengangkatan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);
b. Kepastian mendapatkan kesejahteraan dalam bentuk subsidi gaji dan tunjangan yang setara dengan guru dan tenaga kependidikan PNS atau setidak-tidaknya setara dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) yang ditanggung bersama antara pemerintah, pemerintah provinsi / kabupaten / kota dengan penyelenggara pendidikan swasta;
c. Pengaturan impassing golongan kepegawaian bagi guru swasta harus ditetapkan bersamaan dengan kelulusan sertifikasinya sehingga memperoleh kepastian untuk mendapatkan tunjangan profesi sesuai dengan golongannya;
d. Mengatur keadilan bagi guru swasta untuk memperoleh uang tunggu bagi yang belum mengikuti program sertifikasi sebagaimana diperoleh guru PNS;
e. Pemberian tunjangan fungsional tidak mensyaratkan jumlah beban kerja guru dalam tatap muka karena hak tunjangan fungsional melekat secara fungsional kepada setiap guru dalam menjalankan tugasnya;
f. Pemberian penghargaan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat prestasi kerja luar biasa baiknya, kenaikan jabatan, uang atau barang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain yang termuat didalam PP 74/2008 tentang guru harus diberikan secara adil tidak hanya ditujukan kepada guru PNS tetapi juga kepada guru swasta;
g. Adanya pengaturan tentang Perjanjian Kerja Bersama/ Kesepakatan Kerja Bersama (PKB/KKB) yang disusun bersama antara Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan organisasi/serikat guru sekolah swasta dan penyelengara pendidikan masyarakat yang memuat hak-hak dan kewajiban serta aturan bersama untuk memberikan perlindungan, kesetaraan dan kesejawatan kepada guru swasta;
h. Adanya aturan yang memastikan pemberian kesejahteraan dalam bentuk maslahat tambahan yang jumlahnya setara dengan gaji pokok PNS atau setidak-tidaknya setara dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) dan adanya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang diberikan oleh negara / pemerintah bagi guru sekolah swasta sebagai bentuk perlindungan bagi guru sekolah swasta untuk memperoleh jaminan kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan hari tua. Pemberian kesejahteraan dalam bentuk maslahat tambahan setara gaji pokok PNS atau setidak-tidaknya setara Upah minimum Provinsi (UMP) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang diberikan negara / pemerintah bagi guru-guru swasta adalah sangat memungkinkan mengingat Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa : ”Maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan atau bentuk kesejahteraan lain”.
Read More..

Sunday, June 6, 2010

Workshop ASETUC Indonesia (Asean Service Employees Trade Union Council) , Menghadapi Perdagangan Bebas ASEAN, Cisarua, 4-5 Juni 2010





Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai belahan dunia, khususnya dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. Kisah sukses integrasi kawasan dicontohkan oleh Uni Eropa (UE) yang mampu menyatukan 15 negara eropa barat ke dalam satu kesatuan pasar, yang ditandai dengan diciptakannya mata uang bersama Euro. Kalaupun Euro belum diadopsi oleh Inggris dan beberapa negara skandinavia, tetap saja kemunculan Euro menjadi fenomena bersejarah serta menjadi salah satu mata uang paling penting di dunia selain Dollar Amerika.

Tahun 2004 bahkan menjadi momen bersejarah bagi Eropa dan dunia, ketika UE menambah keanngotaannya hingga menjadi 25 negara dengan memasukkan 10 negara Eropa Timur dan bekas Uni Sovyet. Proses integrasi belum akan berakhir, karena ada beberapa negara yang akan bergabung dalam tahun-tahun mendatang. EU bagaimanapun telah berhasil menyatukan Eropa ke dalam satu wadah (hal yang sebenarnya sudah dicita-citakan sejak jaman Napoleon Bonaparte), yang akan menjadikan Eropa satu kawasan yang damai dan stabil dengan tingkat kemakmuran yang merata.

Keberhasilan EU membentuk satu pasar tunggal mengilhami ASEAN untuk melakukan hal yang sama. Pada KTT ASEAN Oktober 2002 di Kamboja, PM Singapura Goh Cok Tong mengusulkan agar di tahun 2020 dibentuk apa yang disebutnya sebagai pasar tunggal ASEAN mencontoh keberhasilan pembentukan pasar tunggal Eropa yang diberlakukan di kawasan Uni Eropa. Usulan ini langsung mendapat dukungan penuh dari PM Thailand Thaksin Shinawatra dan PM Malaysia Mahathir Mohammad. Ide ini akhirnya terwujud dengan ditandatanganinya Bali Concorde II pada tanggal 7 Oktober 2003, yang menyepakati terbentuknya ASEAN Community pada tahun 2020 dengan tiga pilar utama: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Culture Community.

Penyatuan ASEAN ke dalam ASEAN Community ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa besar, tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dalam segala aspek kehidupan lainnya. Dari sisi ekonomi misalnya, penyatuan ini akan menciptakan pasar yang mencakup wilayah seluas 4,5 juta km2 dengan populasi sekitar 500 juta jiwa (jumlah yang setara dengan UE saat ini), total perdagangan lebih dari 720 milyar dollar per tahun serta produk domestik bruto (PDB) lebih dari737 milyar dollar. Sebagai gambaran, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN mampu meningkatkan perdagangan intra ASEAN dari 43,26 milyar dollar pada tahun 1993 menjadi 80 milyar dollar pada tahun 1996, atau dengan rata-rata pertumbuhan 28,3 persen per tahun. Share perdagangan intra ASEAN terhadap total perdagangan juga meningkat dari 20 menjadi 25 persen. Penyatuan ASEAN ke dalam pasar tunggal diyakini akan memberikan dampak sangat besar.

ASEAN Economic Community atau Pasar Tunggal ASEAN 2020 kira-kira bisa digambarkan sebagai satu kawasan ekonomi tanpa frontier (batas antar negara) dimana setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas (sebagaimana dalam negeri sendiri). Tujuannya adalah untuk mencapai tingkat kegunaan yang paling optimal yang pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kemakmuran (kesejahteraan) yang sama (merata) diantara negara-negara anggota ASEAN.

Konsep ini dilandasi oleh empat pilar utama sebagai berikut:
1. Free movement of goods and services. Konsep ini memungkinkan terjadinya pergerakan barang-barang dan jasa tanpa ada hambatan (pajak bea masuk, tarif, quota dll), yang merupakan bentuk lanjut dari kawasan perdagangan bebas (sebagaimana AFTA) dengan menghilangkan segala bentuk hambatan perdagangan (obstacles) yang tersisa.
2. Freedom of movement for skilled and talented labours. Konsep ini dimaksudkan untuk mendorong terjadinya mobilitas tenaga kerja sesuai dengan tuntutan pasar dan memberi kesempatan kepada setiap pekerja untuk menemukan pekerjaan terbaik sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki.
Berbeda dengan konsep UE yang memungkinkan terjadinya pergerakan tenaga kerja secara bebas, ASEAN hanya akan mengijinkannya untuk tenaga kerja pada kategori terdidik. Konsekuensinya, hanya orang-orang terdidik lah yang bebas bekerja dimana saja, sementara tenaga kerja tak terdidik tidak akan mendapat kesempatan. Hal ini merupakan satu kecolongan buat Indonesia, mengingat kondisi mayoritas tenaga kerja kita belum masuk ke dalam kategori ini.
3. Freedom of establishment and provision of services and mutual recognition of diplomas. Konsep ini menjamin setiap expert warga negara ASEAN akan bebas membuka praktek layanan di setiap wilayah ASEAN tanpa ada diskriminasi kewarganegaraan.
4. Free movement of capital. Konsep ini akan menjamin bahwa modal atau kapital akan bisa berpindah secara leluasa diantara negara-negara ASEAN, yang secara teoritis memungkinkan terjadinya penanaman modal secara efisien.

Lalu apa dampaknya bagi dunia usaha Indonesia ? Tentunya, sangat besar karena :
1. Perdagangan antar negara akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari era AFTA. Di dalam AFTA, pemerintah masih dimungkinkan misalnya menerapkan bea masuk 1 sampai 5 persen atau juga mengeluarkan kebijakan khusus untuk melindungi industri atau barang-barang produksi dalam negeri yang sangat sensitif. Sebaliknya, dalam era PTA barang-barang produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan barang-barang produksi negara lainnya. Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indoneisa untuk bisa bersaing. Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan dalam hal tenaga kerja yang lebih murah, sedangkan Singapura, Malaysia dan Thailand sangat bersaing dalam kualitas dan juga manajemen.
2. Pergerakan tenaga kerja akan terjadi secara bebas yang bisa memberikan dampak luar biasa bagi Indonesia. Di satu sisi, persaingan tenaga kerja di dalam negeri akan sangat kompetitif. Pekerja kita tidak hanya akan bersaing dengan sesama WNI, tetapi juga dengan seluruh warga ASEAN. Konsekuensinya, tenaga kerja Indonesia harus memiliki kemampuan yang lebih tinggi atau minimal sama dengan tenaga kerja luar agar bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Padahal, kita tahu pasti bahwa kualitas pendidikan kita termasuk yang paling buruk diantara negara-negara ASEAN.
3. Persaingan untuk menarik investasi bagi kelangsungan pembangunan juga akan semakin berat dengan adanya prinsip free movement of capital. Jika dilihat dari kacamata ini, kasus hengkangnya Sony, Aiwa, Nike dan perusahaan lainnya dari Indonesia --yang sangat ramai dibicarakan dalam bulan November-Desember 2002 -- adalah fenomena yang sangat wajar dan tidak perlu ditanggapi secara emosional. Bahkan, bukan tidak mungkin pengusaha-pengusaha nasional kita justru akan menanamkan modalnya di negara-negara anggota ASEAN lain demi mencapai efisiensi yang lebih baik.

Sederet pertanyaan yang dibahas dalam workshop ini untuk mendapatkan solusi dan menyiapkan langkah-langkah strategis antara lain:
1. Apa dampaknya bagi pekerja Indonesia disaat tidak adanya jaminan sosial bagi pekerja Indonesia ketika perusahaannya kolaps dan mereka terkena PHK ?
2. Apa yang harus dilakukan oleh Serikat pekerja Indonesia ?
3. Apa peran ASEAN ?
4. Apa yang bisa dilakukan oleh anggota UNI, PSI dan BWI di Indonesia dan ASEAN terkait Integrasi ekonomi ASEAN ?

Narasumber :
1. ASEAN Secretariat
"Mengenal Asean"
2. Mr. DR.Kun Wardhana, ASETUC – UNI Apro
"Overview mengenai Asetuc"
3. Mr. Erwin Schweisshelm, Resident Director FES Jakarta
"Partnership Model of Europe Trade Union Council dengan UNI European"
4. Mr. Bonie Setiawan: Institute Global Justice
"Oveview tentang ASEAN"
5. Mr Shofwan Choiruzzad, S.Sos,MA : Redaktur Jurnal Politik International Global Universitas Indonesia
6. Mrs Iftida Yasar: Apindo / Kadin
“Dampak & Peluang Integrasi ASEAN untuk Dunia Usaha dan Pekerja Indonesia”
7. Mr. Muhamad Hakim, Presiden ASPEK Indonesia
"Sosial Partenership"
8. Khoirul Anam : Presiden FSP Kahutindo
" Standar Kompetensi Pekerja Indonesia"
9. Mrs. Darlina : PSI & Rusdi Sekjen Aspek indonesia
" Social Security"

Peserta :
Uni Apro
Aspek IndonesiaUni Apro
BWI Apro :
FSP Kahutindo
FKUI
PSI Apro:
Farkes
PJB
PP-IP
FGII

Tor Workshop
-Asetuc Indonesia-
Read More..

Thursday, May 6, 2010

Komite Bersama Aksi 2 Mei 2010






Pasca dibatalkannnya UU BHP oleh MK bukan berarti hapusnya komersialisasi dan diskriminasi dalam pendidikan. Terbukti pasca penolakan kasasi pemerintah oleh MA pemerintah masih terus melaksanakan UN tanpa perubahan berarti. Pasca dibatalkannya UUBHP pun masih dicari-cari aturan penggantinya. Kobar 2 Mei aliansi dari el...emen pelajar, mahasiswa, guru dan masyarakat mengingatkan pemerintah, legislatif dan masyarakat bahwa masih banyak problem mendasar pendidikan di tanah air yang belum diselesaikan, terlebih oleh pemerintah sebagaimana diamanatkan kewajibannya oleh konstitusi Read More..

Monday, April 26, 2010

PROGRAM REGISTRASI NASIONAL ANGGOTA DAN ANGGOTA MUDA FGII

FGII mengajak guru-guru dan calon guru (anggota muda/mahasiswa LPTK/umum) yang ingin mewujudkan organisasi guru profesional yang mampu mendorong sistem pendidikan yang demokratis, transparan, akuntabel, berkeadilan, dan bermartabat dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan-teknologi dan hak azasi manusia untuk bergabung bersama FGII melalui Program Registrasi Nasional Keanggotaan FGII Tahun 2010.

MEKANISME KEANGGOTAAN :

Ketentuan pendaftaran keanggotaan registrasi nasional:
1. Mendaftarkan diri dengan mengisi formulir yang telah disediakan (langsung/online);
2. Membayar keanggotaan sebesar Rp. 100.00 pertahun perorang;
3. Membayar dana abadi solidaritas sebesar Rp. 50.000 perorang hanya pada tahun pertama;
4. Mengikuti kegiatan pengenalan dan pengukuhan anggota.

Cara membayar :
1. Transfer ke Bank BCA Cabang Gondangdia Lama Jakarta Nomor Rekening Giro: 4553005895 atas nama Federasi Guru Independen Indonesia (FGII);
2. Pembayaran tahun pertama Rp. 150.000,- dan pembayaran tahun berikutnya Rp. 100.000,-;
3. Konfirmasi pembayaran dengan mengirimkan/faksimili slip pembayaran ke nomor 021-5221457 atau telepon langsung ke nomor 021-5222318 atau 08128618785. dengan Ibu Laili Hadiati.

Manfaat yang diperoleh dari keanggotaan dengan registrasi nasional :
1. Kartu anggota legalitas keanggotaan organisasi profesi guru secara nasional;
2. Memperoleh hak anggota sesuai AD/ART FGII;
3. Update informasi kerja-kerja/kegiatan FGII;
4. Memperoleh buletin FGII per triwulan dan alamat email;
5. Mengikuti program pendidikan pengembangan profesi FGII bersertifikat nasional dengan potongan biaya atau bebas biaya yang diselenggarakan DPP-FGII (Workshop, training, seminar, diskusi, dll);
6. Memperoleh buku saku FGII (AD-ART, Peraturan Perundang-undangan);
7. Mengikuti kegiatan-kegiatan resmi FGII, lokal dan nasional sebagai perwakilan daerahnya;
8. Mendapatkan discount untuk produk-produk FGII dan penginapan (buku, souvenir/cinderamata);
9. Konsultasi hukum secara cuma-cuma terkait dengan tenaga pendidik/ kependidikan dan masalah-masalah pendidikan (langsung atau online).

Formulir Pendaftaran :

Nama lengkap : ...............................................................................

Tempat tanggal lahir : .........................................................................

Alamat rumah & telepon : .........................................................................

NUPTK : ...............................................................................

Handphone : ...............................................................................

Email : ...............................................................................

Tempat bekerja : .........................................................................

Alamat kantor & telepon : .........................................................................

Pendidikan terakhir : 1. .....................................................................

2. .....................................................................

3. ....................................................................

Dengan ini mendaftaran diri sebagai anggota FGII dan bersedia mematuhi AD/ART FGII.

............................., .......................................

Pendaftar,

________________________
(Tandatangan dan nama jelas)


PROFIL FGII

Federasi Guru Independen Indonesia disingkat FGII dideklarasikan berdirinya pada tanggal 17 Januari 2002 bertempat di Tugu Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta. Hadir dalam deklarasi tersebut lebih kurang 300 orang guru dari Aceh, Padang, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan nama-nama organisasi / forum guru yang berbeda dari masing-masing daerah. Penyatuan atas perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi guru dalam bentuk Federasi.

Prinsip dasar yang melatarbelakangi pembentukan FGII adalah mendorong demokratisasi pendidikan dengan membuka ruang seluas-luasnya kepada guru dan masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan agar kebijakan pendidikan di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara partisipatif, transparan dan akuntabel.

Sejak dideklarasikan, FGII telah menyelenggarakan tiga kali Kongres. Kongres I dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2002 di kota Bandung Jawa Barat, Kongres II bulan Juli 2005 di kota Purwokerto Jawa Tengah dan Kongres III bulan Juli 2008 di kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Saat ini FGII beranggotkan 157.000 guru berstatus guru swasta, non PNS lainnya dan berstatus PNS yang bertugas di 17 provinsi antara lain ; Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat.

LEGALITAS :
1. Akta Notaris Nomor 14 Tanggal 27-9-2004 oleh Notaris Dindin Saepudin, SH, Bandung. Diperbarui melalui Akta Notaris nomor 11 Tanggal 30-3-2007.
2. SKT Organisasi Massa Profesi Nomor : 106/D.III.3/XII/2007 Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia;
3. Bukti Pencatatan Serikat Pekerja FGII Nomor : 450/I/XI/2007 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Pusat.

DASAR :
FGII berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

SIFAT :
FGII adalah organisasi profesi guru dan/atau serikat pekerja profesi guru yang bersifat terbuka, independen, kolegial dan non partai politik.

PRINSIP :
Solidaritas diantara pekerja profesi guru dan pendidik lainnya serta para pekerja pelayanan publik di Indonesia dan di seluruh dunia.

VISI :
Terwujudnya guru profesional yang mampu mendorong sistem pendidikan yang demokratis, transparan, dapat dipertanggungjawabkan, berkeadilan, dan bermartabat dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan hak azasi manusia.

MISI :
1. Meningkatkan prinsip-prinsip profesionalitas guru
2. Membangun kesejahteraan guru
3. Menerapkan prinsip demokrasi, transparansi dan keadilan
4. Mengembangkan sikap inovatif , kreatif, , kritis, dan transformatif
5. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
6. Menyediakan bantuan kemanusiaan
7. Mempromosikan kebebasan profesional guru
8. Mempromosikan persamaan hak, keragaman dan penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi terutama untuk mengintegrasikan kebijakan dan praktek pendidikan yang mengedepankan keadilan sosial dan kepentingan terbaik anak berdasarkan deklarasi universal hak asasi manusia
9. Memastikan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam kepengurusan dan keanggotaan.

TUJUAN :
1. Memperjuangkan hak-hak anggota;
2. Memberikan advokasi dan perlindungan kepada anggota
3. Meningkatkan profesionalisme anggota;
4. Meningkatkan peranserta anggota dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan mulai dari
tingkat satuan pendidikan sampai tingkat nasional.

KEANGGOTAAN :
Anggota Federasi terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa dan anggota kehormatan:
1. Anggota biasa adalah Guru yang bekerja dalam sistem Pendidikan di Indonesia yang berhimpun dalam organisasi-organisasi/Forum-forum Guru Independen yang secara sukarela bersedia mematuhi AD, ART dan prinsip-prinsip Federasi
2. Anggota luar biasa adalah anggota muda/calon guru dan para pendidik yang disebut pada pasal 1 butir 5 dan 6 UU SISDIKNAS.
3. Anggota kehormatan adalah organisasi atau perorangan yang memiliki komitmen terhadap pendidikan dan telah berjasa kepada Federasi atas dasar rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat.

HAK ANGGOTA :
1. Memperoleh dukungan solidaritas dan perlindungan;
2. Menyatakan pendapat;
3. Memilih dan dipilih dalam Kongres, kecuali anggota luar biasa dan anggota kehormatan;
4. Berpartisipasi dalam setiap even, kegiatan dan program FGII;
5. Memperoleh penghargaan, tanda jasa, tanda kehormatan dan lain-lain.

RENCANA IMPLEMENTASI PROGRAM FGII :
1. Pengembangan profesionalisme guru :
a. Pelatihan-pelatihan metode pembelajaran mutakhir.
b. Pengembangan kurikulum berbasis SETS.
c. Pengembangan kurikulum berbasis HAM.
d. Pelatihan pendidikan kebencanaan.
e. Memfasilitasi penyusunan modul pengembangan kurikulum bidang studi.
f. Workshop pembelajaran berbasis hak anak dan multikultural.
g. Pendirian klub diskusi buku dan klub penulisan ilmiah.
h. Pengelolaan Klinik Pendidikan (Klinik Pembelajaran untuk Guru dan Orangtua (Parenting), Klinik Serikat/Organisasi Guru, Klinik Sekolah Demokrasi, Klinik Sekolah Siaga Bencana).

2. Peningkatan kesejahteraan :
a. Iuran anggota;
b. Pendirian koperasi guru.dan pembukaan dana solidaritas.

3. Perlindungan guru / anggota :
a. Kerjasama dengan institusi bantuan hukum
b. Workshop perlindungan guru
c. Sosialisasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan peraturan perundang-undangan lainnya
d. Merintis pembentukan LBH guru.

4. Penelitian dan Pengembangan :
a. Riset dan pelatihan riset pendidikan untuk guru, bersertifikat;
b. Pengembangan dan pelatihan teknologi informasi pembelajaran, bersertifikat;
c. Pengembangan dan pelatihan pembelajaran berbasis HAM, bersertifikat;
d. Pendataan lengkap informasi pendidikan.

5. Penerapan Kode Etik Profesi :
a. Sosialisasi Kode Etik FGII;
b. Pembentukan Dewan Kehormatan pengawas pelaksanaan kode etik;

6. Kerjasama antar lembaga :
a. Membangun kerjasama kemitraan dengan institusi pemerintah dan non pemerintah baik di dalam maupun di luar negeri;
b. Membangun kerjasama dengan sesama organisasi pekerja profesi lainnya;
c. Membangun kerjasama dengan pekerja pelayanan publik lainnya baik di dalam negeri maupun diluar negeri melalui afiliasi dalam Public Services International (PSI).

7. Informasi dan Komunikasi :
a. Penerbitan Blog organisasi : www.federasiguru.blogspot.com , Email : dppfgii@gmail.com
b. Penerbitan jurnal FGII pertriwulan, leaflet, poster dan buku-buku panduan organisasi dan perlindungan.

8. Keorganisasian:
a. Pendidikan calon anggota;
b. Pendidikan kader pengurus secara berjenjang;
c. Pendidikan fasilitator (TOT).

BEBERAPA KERJASAMA YANG TELAH DILAKSANAKAN:
1. Program Semiloka Manajemen Organisasi Guru, Juli 2007 dan Semiloka Perlindungan Profesi Guru, Mei 2008 . Kerjasama dengan Ditjen PMPTK Depdiknas RI;
2. Workshop Perlindungan Guru, 2008-2010. Kerjasama dengan LBH Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan (LBHP);
3. FGD Pendidikan berbasis HAM, Desember 2009. Kerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM);
4. Workshop Guru Kreatif, tahun 2009. Kerjasama dengan Yayasan Credo Jakarta;
5. Bekerjasama dengan Education forum (eF) menyelenggarakan sejumlah diskusi Publik tentang pendidikan dan HAM, tahun 2006-2010;
6. Workshop penguatan serikat dan anggota serta pengembangan fasilitator bekerjasama dengan Public Services International tahun 2009-sekarang;
7. Menjadi anggota afiliasi Public Services International (PSI).


KODE ETIK GURU
FEDERASI GURU INDEPENDEN INDONESIA

1. Bertakwa kepada Tuhan YME, diwujudkan dalam keluhuran budi pekerti, keteladanan dan berakhlak mulia;
2. Tidak melakukan tindakan yang dapat merusak citra dan martabat guru;
3. Bersikap adil dalam melaksanakan tugas;
4. Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab;
5. Meningkatkan kompetensi Guru;
6. Tidak menerima uang, barang dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan penilaian dan prestasi peserta didik;
7. Memegang teguh dan menjunjung tinggi kehormatan, integritas dan prinsip-prinsip profesionalisme guru;
8. Membangun sikap kritis, demokratis, partisipatif dan menghormati HAM dalam melaksanakan tugas;
9. Memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sesama guru.

SUSUNAN PENGURUS DEWAN PIMPINAN PUSAT FGII
PERIODE 2008 – 2012

Ketua Umum:
Suparman (Jakarta)

Ketua:
1. Badaruddin (NAD)
2. Gino Vanollie (Lampung)
3. Maruli Taufik (DIY)
4. Samsuniang (Sulawesi Selatan)
5. Subiyanto (Kalimantan Timur)
6. H.G.Rachmad Basuki (JawaTimur)
7. Agus Setia Mulyadi (Jawa Barat)
8. Budi Santosa (Jawa Tengah)
9. Supriyono (Jakarta)

Sekretaris Jenderal :
Iwan Hermawan (Jawa Barat)

Wakil Sekretaris Jenderal:
1. Moh. Zen, Adv (Jawa Tengah)
2. Trijoko Wahyono

Bendahara:
Laili Hadiati (Jakarta)
Wakil Bendahara:
Tati Nurmilawati (Kalimantan Timur)

Departemen :
a.Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme : Zaenal Abidin (Lampung)
b.Informasi dan Komunikasi: Melkior Rengkung (Sulawesi Utara)
c.Penelitian dan Pengembangan :Bambang Triadmidi (Jawa Timur)
d.Perlindungan Hukum dan Advokasi: Burhanuddin Rakhbi, SH (Kalimantan Timur)
e.Peningkatan Kesejahteraan Guru:Nurdin (Sulawesi Selatan)
f.Organisasi dan Kerjasama antar Lembaga: Rifian Hadi (Lampung) Read More..

Saturday, April 10, 2010

Rapat Pimpinan Nasional FGII 9-11 April 2010, Yogyakarta.




Dalam rangka membangun manajemen dan finansial organisasi yang profesional dalam rangka memperkuat FGII meningkatkan profesionalisme anggota dan meningkatkan kualitas pendidikan DPP FGII menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional tanggal 9-11 April 2010 di Edotel Hotel, Yogyakarta. Rapimnas diikuti oleh pengurus DPP FGII, Ketua-Ketua DPD dan DPF FGII di 17 Provinsi. Rapimnas dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga Pemprov DI Yogyakarta. Selain membahas masalah-masalah internal organisasi, Rapimnas juga mendiskusikan masalah-masalah aktual pendidikan seperti Ujian Nasional, Sertifikasi Guru, Diskriminasi terhadap guru swasta dan honorer. Diskusi diramaikan dengan kehadiran narasumber Eko Prasetyo, yang selama ini kritis terhadap berbagai kebijakan pendidikan.Rapimnas diakhiri dengan menyampaikan rekomendasi2 yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat, Pemda, DPR, DPRD dan pihak-pihak terkait.
Read More..

Friday, March 26, 2010

Pingsan saat Garap Unas, Siswi SMK di Cilacap Meninggal

CILACAP-Jawapos,26 Maret 2010 - Pelaksanaan ujian nasional (unas) di SMK Boedi Oetomo Gandrungmangu, Cilacap, kemarin (25/3) diwarnai insiden. Nurhayati, salah seorang siswi di sekolah itu, tiba-tiba pingsan ketika mengerjakan soal unas. Lalu, nyawanya tak tertolong saat dibawa ke rumah sakit.

Ketua Yayasan Kader Penerus Teknologi yang menaungi sekolah itu, Soedarno ST SH MSi, ketika dikonfirmasi membenarkan adanya musibah tersebut. Dia mengatakan baru mendapatkan kabar itu kemarin sekitar pukul 20.00. "Saya dilapori kepala sekolah," papar dia.

Berdasar informasi yang dihimpun Soedarno dari sekolah, disebutkan Nurhayati mendadak pingsan sekitar pukul 09.00.

"Dia hampir menyelesaikan seluruh soal karena ujian dimulai pukul 08.00. Lalu, tiba-tiba dia pingsan," tutur Soedarno.

Menurut dia, begitu mengetahui peserta unas itu pingsan, guru dan pengawas di sekolah tersebut langsung membawanya ke ruang UKS.

"Kepala sekolah memanggil seorang mantri kesehatan ke sekolah. Tapi, karena kondisinya agak kritis, siswi tersebut langsung dibawa ke RSUD Cilacap. Namun, sekitar pukul 13.00 jiwanya tak bisa diselamatkan," ungkap dia.

Menurut dia, dugaan sementara menyatakan bahwa Nurhayati pingsan karena masuk angin setelah belajar hingga larut malam sebelumnya. "Menurut informasi yang diterima sekolah, sebelum ujian, Nurhayati belajar semalam suntuk. Paginya, dia lupa sarapan. Mungkin pikirannya terkonsentrasi ke ujian," paparnya.

Soedarno menambahkan, yayasan sudah memerintahkan sekolah untuk ikut mengurus pemakaman Nurhayati yang akan dilaksanakan hari ini pukul 09.00. "Kami sangat prihatin atas kejadian itu," imbuh dia. (din/jpnn/c11/kum)
Read More..

Monday, March 22, 2010

POSKO NASIONAL PENGADUAN UJIAN NASIONAL 2010


PRESS RELEASE
POSKO NASIONAL PENGADUAN UJIAN NASIONAL 2010
Menagih Janji Pemerintah: UN 2010 Lebih Baik

Jakarta, 21 Maret 2010 – Posko Nasional Pengaduan UN 2010 dibuka oleh Aliansi Pelajar & Masyarakat Tolak Ujian Nasional, bertempat di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jl. Diponegoro 74, Jakarta Pusat. Posko Nasional Pengaduan UN 2010 dibuka sehubungan dengan keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan UN 2010 meskipun sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang antara lain menetapkan prasyarat pelaksanaan UN, yaitu:
1. meningkatkan kualitas guru;
2. melengkapi sarana dan prasarana sekolah;
3. akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia.
Meskipun pemerintah telah berjanji UN 2010 lebih baik, adalah kenyataan para pelajar di banyak daerah di Indonesia tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang sama dengan teman-temannya sendiri di kota besar. Hal ini dibuktikan dengan data Depdiknas yang menunjukan bahwa sarana & prasarana pendidikan, juga akses informasi belum merata di seluruh Indonesia. Kondisi ini tentu saja merupakan petunjuk bagi kita bahwa pemerintah bukan saja melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengindahkan putusan pengadilan, tetapi juga mengulang pelanggaran hak asasi anak, khususnya para pelajar yang diwajibkan untuk mengikuti Ujian Nasional.

Aliansi Pelajar & masyarakat Tolak UN mengajak masyarakat turut mengawasi UN 2010 & menyampaikan ke ruang public, yaitu melalui Posko Nasional Pengauan UN 2010, pelanggaran-pelanggaran UN 2010, seperti:
•Sarana, prasarana & akses informasi yang tidak lengkap;
•pungutan biaya-biaya;
•bocoran soal/ujian;
•gangguan psikologis;
•ketidaklulusan yang tidak wajar.
Pengaduan-pengaduan itu tentu saja akan ditindak-lanjuti bersama-sama.
Untuk mempermudah masyarakat menyampaikan pengaduan pelanggaran hak asasi dalam UN 2010, beberapa lembaga jaringan Aliansi Pelajar Masyarakat Tolak UN di daerah membuka juga Posko Pengaduan UN 2010. Selain menyampaikan pengaduan secara langsung ke posko-posko Pengaduan UN, pengaduan dapat disampaikan melalui surat, fax, maupun email dengan menyertakan identitas lengkap, alamat & nomor telepon yang dapat dihubungi.

Posko Nasional Pengaduan UN 2010
Kantor LBH Jakarta, Jl. Diponegoro 74, Jakarta Pusat, 10320
Fax: (021) 39102377
Email: poskonasionalpengaduanun2010@gmail.com

Jakarta, 21 Maret 2010
Hormat Kami,
Koordinator Posko Nasional :
Virgo sulianto ( 085225180635),

Aliansi Pelajar & Masyarakat Tolak Ujian Nasional
Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Change (Aliansi Pelajar) , Perhimpunan Pelajar Independen (PPI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Education Watch BEM UNJ, Federasi Guru Independent Indonesia (FGII), Forum Orang Tua Murid (Forum OTM), Education Forum(EF), Lembaga Advokasi Anak Marjinal (LAPAM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan (LBHP), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), LPPMPB UKI , Persatuan Guru Madrasah Indonesia ( PGMI), Sekitar Kita, LKBHMI, KOMPAK UIN
CP.Muhamad Isnur (081510014395),
Virgo sulianto ( 085225180635),
Suparman (081280771917)
Vicky Silvanie (08563737178)

Read More..

Wednesday, March 10, 2010

Saturday, March 6, 2010

Financial & Administration Workshop Public Services International




Public Services International (PSI) menyelenggarakan Workshop Financial & Administration untuk memberikan penguatan manajemen bagi serikat-serikat pekerja yang berafiliasi kedalam PSI. Pengelolaan keuangan yang transparan, akuntabel dan partisipatif adalah bagian penting bagi serikat jika ingin membangun serikatnya kuat, disamping modal komitmen dan militansi anggota2nya. Workshop diselenggarakan di Malioboro Inn, Yogyakarta pada tanggal 3-5 Maret 2010. dari SP FGII diikuti oleh Iwan hermawan, Laili hadiati, Sutiyem dan Suparman. Selain SP FGII workshop diikuti oleh SP Angkasa Pura-1, SP PLN, SP PJB (Pembangkit Jawa bali), SP-PPIP (Indonesia Power), SP Farmasi Kesehatan (SP Farkes) dan Sekar Aerta. Setelah mengikuti workshop ini semua peserta mengakui memperoleh pengetahuan yang sangat berguna untuk disampaikan kepada pengurus SPnya masing2.
Read More..

Monday, March 1, 2010

Penyampaian Aspirasi Untuk Memperbaiki Kondisi Belajar Anak






Education International (Serikat-serikat Guru se-Dunia) menyerukan bahwa memperbaiki kondisi kerja guru berarti memperbaiki kondisi belajar anak. Itu berarti jika kondisi kerja guru masih rendah maka negara belum memberikan perbaikan pada kondisi belajar anak, yang salah satunya memerlukan guru yang berkualitas dari sisi profesi dan kesejahteraannya. 24 Februari 2010, Presidium Guru Swasta Indonesia (PGSI) menyampaikan aspirasinya agar negara menghapus diskriminasi pada para pendidik swasta ini.
Kondisi guru swasta saat ini :
a.Masih banyak guru swasta yang bergaji dibawah UMP dan tidak memiliki jamsostek;
b,Masih banyak guru swasta yang bekerja tanpa memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang dihasilkan secara setara antara guru dengan satuan pendidikan/sekolahnya. PKB sering bersifat tertutup, artinya hanya berdasarkan keinginan satuan pendidkan/yayasan. Guru hanya bisa menandatangani Perjanjian Kerja yang sudah ada;
c.Serikat pekerja-profesi guru masih jarang di sekolah2 sehingga PKB masih sering terlihat sepihak untuk kepentingan yayasan/sekolah;... Lihat Selengkapnya
d.Guru-guru belum berhimpun dalam serikat pekerjanya di sekolah2 sehingga sangat rentan dari PHK sepihak;
e.Masih banyak guru swasta yang belum mengetahui bahwa perlindungan mereka selain UU Guru juga diatur dalam UU Tenaga Kerja.

Perguruan swastalah yang memelopori pencerdasan bangsa ini sebelum negara ini berdiri merdeka. Taman siswa dan sejumlah perguruan keagamaan menjadi contoh bagaimana negara ini berdiri dengan ditopang oleh para pendidik perguruan swasta ini. Sayangnya justru perguruan swasta dengan para pendidiknya sampai saat ini terbelakangkan oleh sejumlah kebijakan. Banyak pendidiknya bergaji dibawah UMR tanpa jaminan sosial tenaga kerja. Rendahnya kondisi kerja guru inilah yang menjadi bukti bahwa negara belum sepenuhnya melayani anak-anak didik kita untuk memperbaiki kondisi belajar mereka.
Meskipun sekolah2 swasta dibangun oleh masyarakat bukan berarti masyarakat/yayasan/perkumpulan masyarakat mesti bertanggung jawab sepenuhnya atas semua persoalan perguruan swasta termasuk masalah pendidiknya. Banyak perguruan swasta membangun sekolah dengan dana terbatas tetapi dengan semangat membantu masyarakat miskin. Jika perguruan swasta ... Lihat Selengkapnyadipaksa berjalan sendiri maka otomatis berdampak pada makin tingginya anak2 miskin putus sekolah karena harus menanggung biaya tinggi. Oleh karena itu negara harus ikut bertanggung jawab sebagaimana amanat konstitusi.

Read More..

Monday, February 22, 2010

PENDIDIK BERWAWASAN HAK ANAK

Oleh: Suparman (Disampaikan pada Seminar Nasional “Mengkaji Batasan Kekerasan Guru terhadap Anak Didik Dalam Tinjauan Undang-Undang Perlindungan Anak “, diselenggarakan oleh Idekita FIP Universitas Negeri Jakarta, 21 Februari 2010.Penulis adalah Ketua Umum DPP Federasi Guru Independen Indonesia (DPPFGII), Koordinator Education Forum/eF).

1.Pasal 14 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Pasal ini pernah menuai kontroversi ketika dalam draft RUUnya pernah dimuat hak imunitas guru yang dilekatkan pada hak pemberian sanksi tersebut. Sebagai orang yang terlibat langsung sejak awal dirumuskannya RUU Guru saya menyampaikan protes karena saya nilai hak imunitas dapat dimanfaatkan secara salah untuk meneguhkan sistem pendidikan yang selama ini sering menuai kritik karena masih gencarnya tindak kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh sesama murid, masyarakat/orang tua terhadap murid, termasuk guru terhadap anak didiknya sendiri. Sampai saat ini saya pun tidak tahu siapa pihak yang mengusulkan hak imunitas tersebut. Untungnya usulan hak imunitas tersebut kemudian dihapus dan hak untuk memberi sanksi pun akhirnya dibatasi oleh ketentuan harus sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan-perundang-undangan.

2.Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada anak (student centered) maka idealnya setiap kegiatan pembelajaran sudah didasari oleh pemahaman yang utuh tentang pentingnya hak anak (pembelajaran berwawasan hak anak). Paradigma pembelajaran ini tentunya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Pasal 2 UUPA menyebutkan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Pasal ini tentu mengasumsikan bahwa tindakan yang membelakangkan kepentingan terbaik anak, termasuk adanya tindak kekerasan terhadap anak bukan hanya dapat dilakukan oleh orang-perorang tetapi juga dapat dilakukan oleh lembaga yang disebut Negara. Kasus ujian nasional dapat menjadi contoh karena telah dinyatakan melanggar hak anak oleh pengadilan.

3.Mencermati pasal 54 UUPA yang menyebutkan bahwa Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya maka pembicaraan tentang batasan kekerasan guru terhadap anak didik menjadi tidak tepat lagi. Karena dalam konteks UUPA tidak boleh ada ruang sedikit pun bagi guru untuk melakukan tindak kekerasan dengan alasan apapun. Sebab dalam penjelasan pasal 13 UUPA tindak kekerasan dimaknai sebagai perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Jadi jika dikaitkan dengan hak guru untuk memberikan sanksi kepada anak didik sebagaimana diberikan UU Guru maka hak tersebut tidak boleh sampai melukai dan/atau mencederai anak baik fisik, mental maupun sosialnya. Jika anak merasa terasing dan terdiskriminasi dari lingkungannnya akibat sanksi yang diberikan oleh guru maka hal itu dapat dimaknai sebagai tindak kekerasan mental dan sosial anak.

4.Hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik :
a.Harus diakui bahwa perubahan paradigma pembelajaran dari yang berpusat kepada guru menjadi berpusat pada anak umumnya masih sebatas wacana. Masih banyak kita temui pola-pola hubungan guru-murid yang dibangun dengan paradigma lama, yang menjadikan anak didik sebagai obyek otoritas guru, polanya :
Guru mengajar – Murid diajar
Guru memberi – Murid diberi
Guru segalanya – Murid bukan apa-apa
Guru menguasai – Murid dikuasai
b.Pemahaman guru yang masih minim tentang UU Perlindungan Anak dan Konvensi Internasional tentang Hak Anak;
c.Masih kuatnya kultur menerapkan disiplin terhadap anak didik dengan aturan-aturan yang kaku atau dengan tindak kekerasan mulai dari yang dianggap sederhana seperti, memarahi, menjewer sampai memukul dengan alat pendidikan seperti penggaris atau memerintahkan anak berlari keliling lapangan karena terlambat masuk sekolah, menyingkirkan anak yang dinilai “bandel” dari lingkungannya, atau mendiamkan anak yang tidak menuruti kemauan gurunya;
d.Kondisi sosial-ekonomi, jarak tempuh ke sekolah dan beban kerja yang berlebihan yang berdampak pada tekanan psikologis guru yang menyebabkan munculnya emosi berlebihan ketika mengendalikan kelas yang sedang “tidak teratur”.
e.Kebijakan makro/mikro pendidikan yang menyebabkan guru dan murid akhirnya saling menjaga jarak atau hanya dipertemukan saat kegiatan pembelajaran untuk mengejar target tertentu. Seperti sistem ujian yang mengharuskan guru menunjukkan wajah yang ditakuti oleh anak didik saat mengawasi ujian.

5.Perubahan paradigma pembelajaran harus terus dilakukan melalui berbagai pelatihan untuk guru. Selain pelatihan yang terkait dengan pengembangan metodik-didaktik, penting bagi guru untuk memperoleh pelatihan hukum dan HAM agar guru memperoleh pemahaman yang utuh tentang hak anak dan HAM, peraturan-perundang-undangan yang terkait langsung/tidak langsung dengan profesinya, sekaligus memahami hak-haknya sebagai pekerja profesi. Dengan pelatihan-pelatihan ini guru dapat mensinerginakan antara hak dengan kewajibannya sebagaimana termuat dalam UU Guru pasal 20 yang salah satunya mewajibkan guru untuk : bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru…”. Pasal ini mengajak guru untuk melihat anak sebagai subyek yang unik, yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu dalam menerapkan metode dan sumber belajar harus berbasiskan pada keragaman anak. Itu berarti harus menerapkan sumber balajar yang beragam pula untuk anak yang beragam.

6.Faktor eksternal yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru seperti kesejahteraan yang tidak memadai, beban kerja yang terlalu berat, rasio kelas yang terlalu padat, sarana prasarana pendidikan yang minim mesti menjadi perhatian pemerintah/pemerintah daerah untuk diperbaiki setiap saat. Kebijakan makro pendidikan yang masih sentralistik yang menuntut kewajiban anak dan guru memenuhi target-target yang politik kekuasaan pemerintah/pemerintah daerah sudah semestinya dikaji ulang. Kebijakan makro ini tentu berdampak pada kebijakan mikro yang menjadi turunannya di sekolah-sekolah. Peraturan-peraturan disiplin yang lebih mengutamakan kepentingan sekolah/guru tanpa melibatkan anak dan orangtua akan berpotensi menjadi bentuk kekerasan yang dilakukan oleh lembaga sekolah.

7.Organisasi-organisasi profesi guru mempunyai kewajiban untuk melakukan perubahan paradigma berpikir guru dengan berbagai pelatihan guru agar para anggotanya lebih professional dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekedar memperoleh sertifikat pendidik. Ada baiknya setiap organisasi guru juga mengeluarkan panduan ringkas tentang pembelajaran yang berperspektif anak.

8.Kurikulum di LPTK selain memuat mata kuliah wajib yang mengajarkan paradigma baru pembelajaran kepada mahasiswanya juga seharusnya di dalam mengajarkan mata kuliah pengenalan dan pemahaman hak-hak anak dengan bacaan utama UUPA dan Konvensi Hak Anak. Karena profesi guru saat ini sudah terbuka bagi semua sarjana maka kedua mata kuliah tersebut menjadi wajib diajarkan pada program-program pendidikan profesi guru. Karena kita ketahui sarjana-sarjana lulusan non-LPTK tentunya belum pernah memperoleh mata kuliah tersebut.

9.Terkait dengan hukuman fisik dalam dunia pendidikan buku Hak Atas Pendidikan yang diterbitban oleh Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO (terjemahan oleh Depdiknas) menggariskan bahwa metode-metode mengajar yang menggunakan hukuman fisik sebagai motivasi ternyata tidak cocok dengan tujuan inti pendidikan. Karena itu, proses mengeluarkan hukuman fisik dari undang-undang yang mulai tahun 1990an menggiring kepada perubahan-perubahan di seluruh dunia. Sejumlah negara yang secara hukum telah melarang hukuman fisik di sekolah, menggambarkan betapa cepat proses perubahan ini terjadi di semua wilayah di dunia. Negara-negara tersebut antara lain : Afrika Selatan, Albania, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belanda, Belarus, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Burkina Faso, China, Ciprus, Denmark, El Salvador, Eritria, Estonia, Ethiopia, Filipina, Fiji, Finlandia, Georgia, Jerman, Guinea Bissau, Honduras, Hongkong, Hongaria, Indonesia, Inggris, Iran, Irak, Irlandia, Islandia, Israel, Italia, Jepang, Kamerun, Kazakhstan, Kenya, Kolumbia, Kongo, Kosta Rika, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Macedonia, Malawi, Maladewa, Malta, Mauritius, Mesir, Moldova, Monaco, Mongolia, Namibia, Norwegia, Oman, Perancis, Polandia, Portugal, Qatar, Republik Cheko, Republik Dominika, Republik Korea, Rusia, Samoa, San Marino, Selandia Baru, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Sri Lanka, Suriname, Swedia, Switzerland, Taiwan, Thailand, Trinidad dan Tobago, Turki, Uganda, Ukraina, Uzbakistan, Yunani, Zambia, Zimbabwe.
Sumber: www.endcorporalpunishment.org January 2003.


Read More..

Friday, January 15, 2010

Rekomendasi Solusi UN oleh eF/TeKUN dan FGII



REKOMENDASI TIM ADVOKASI KORBAN UJIAN NASIONAL (TeKUN)
DAN EDUCATION FORUM (eF)


I. TINJAUAN RINGKAS PENELITIAN-PENELITIAN SEPUTAR UJIAN KELULUSAN


Keteguhan sikap pemerintah untuk menjadikan hasil UN/UASBN sebagai syarat kelulusan didasarkan pada asumsi bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa, di samping motivasi para guru. Namun, cara pandang tersebut mengabaikan faktor-faktor yang berkaitan erat dengan prestasi belajar siswa, antara lain: status sosial ekonomi siswa dan sekolah.
J. Douglas Willms (2006) dari UNESCO Institute For Statistics dalam laporannya berjudul “Learning Divides: Ten Policy Questions about the Performance and Equity of Schools and Schooling Systems” mengelompokkan sistem akuntabilitas pendidikan, antara lain melalui ujian kelulusan, ke dalam bentuk intervensi universal (universal interventions). Intervensi tersebut merupakan sebuah kebijakan yang diterapkan pada seluruh siswa dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi akademis mereka. Namun, intervensi universal berpotensi melanggengkan atau malah memperlebar kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi karena telah terbukti secara empiris betapa eratnya keterkaitan antara prestasi akademis siswa dan latar belakang sosial ekonomi keluarga dan kondisi sekolah.
Perlu diingat pula, bahwa siswa-siswa di Finlandia mampu mencatat prestasi gemilang dalam PISA (The Programme for International Student Assessment) meskipun tidak ada ujian kelulusan. Satu-satunya ujian berskala nasional yang dilaksanakan adalah ujian matrikulasi sebagai syarat untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Sejauh ini, penelitian-penelitan seputar hubungan kebijakan penggunaan hasil ujian untuk mengambil keputusan yang berdampak besar terhadap masa depan siswa (high-stakes testing), misalnya menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan ataupun kenaikan kelas, dengan peningkatan prestasi akademis siswa masih memberikan hasil yang bertolak belakang, sebagaimana tampak pada ringkasan di bawah ini.

1. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut meningkatkan prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran yang diujikan (Bishop, Mane, Bishop, & Moriarty, 2001; Phelps, 2001), namun penelitian lain menunjukkan tidak ada kontribusi positif (Amrein & Berliner, 2003; Jacob, 2001).
2. Dee dan Jacob (2006) menunjukkan bahwa ujian kelulusan hanya meningkatkan prestasi akademis siswa dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi dan kondisi sekolah yang lebih baik.
3. Penelitian Jaekyung Lee (2006) yang dilakukan di 50 negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pendekatan yang hanya memfokuskan pada performance tidak efektif meningkatkan prestasi akademis siswa tanpa dukungan input yang memadai. Lee mendefinisikan input sebagai biaya penyelenggaraan pendidikan yang dibutuhkan oleh tiap siswa per tahun, jumlah siswa dalam tiap kelas, dan kesesuaian antara latar belakang pendidikan guru dan bidang studi yang diajarkan.
4. Terdapat keterkaitan yang erat antara status sosial ekonomi orang tua dan kondisi sekolah dengan prestasi akademis. Hal ini telah mendapatkan dukungan empiris yang kokoh, bahkan melalui penelitan yang menggunakan data dari berbagai negara (Willms, 2006; Fuchs dan Wöβmann, 2007).
5. Penelitian-penelitian yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal international menunjukkan pula berbagai dampak negatif yang menyertai kebijakan high-stakes testing, seperti ujian kelulusan.
Dampak-dampak negatif tersebut, antara lain:
a. kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga siswa (Dee & Jacob, 2006; Willms, 2006);
b. peningkatan resiko putus sekolah, terutama bagi
• siswa yang berasal keluarga tidak mampu (Cunningham & Sanzo, 2002; Dee & Jacob, 2006; Marchant & Paulson, 2005; National Research Council, 1997; Reardon, 1996; Warren, Jenkins, & Kulick, 2006);
• siswa dari kelompok minoritas (Dee & Jacob, 2006; National Research Council, 1997; Reardon, 1996; Warren, Jenkins, & Kulick, 2006);
• siswa dengan prestasi akademis yang rendah (Archer & Dresden, 1987; Bishop & Mane, 2001; Jacob, 2001).
c. Penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga mata pelajaran yang tidak diujikan menjadi terabaikan (Gayler, Chudowsky, Hamilton, Kober, & Yeager, 2004; Jones, Jones, & Hargrove, 2003; Watanabe, 2006);
d. proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal (Abrams, Pedulla, & Madaus, 2003; Jones, Jones, & Hargrove, 2003; Vogler, 2005; Zao, 2006);
e. tekanan berlebihan yang dirasakan oleh siswa (Gregory & Clarke, 2003);
f. tekanan berlebihan yang dirasakan oleh guru (Abrams, Pedulla, & Madaus, 2003).


II. BEBERAPA REKOMENDASI


A. SYARAT KELULUSAN

1. Menggunakan penilaian yang diberikan oleh guru dalam bentuk nilai rata-rata siswa. Nilai rata-rata tersebut dapat diambil dari seluruh pelajaran atau beberapa pelajaran yang disepakati bersama dengan mempertimbangkan bahwa semua sekolah mengajarkan mata pelajaran yang digunakan sebagai syarat kelulusan tersebut. Idealnya, nilai rata-rata tersebut dihitung sejak tahun pertama siswa di suatu jenjang pendidikan agar lebih mencerminkan keseluruhan proses belajar yang dijalani siswa dan memperkaya informasi yang digunakan dalam menentukan kelulusan siswa.

2. Mengombinasikan nilai yang diperolah dari sekolah selama beberapa tahun dan nilai UN untuk mata pelajaran yang bersangkutan dengan memberikan bobot pada setiap komponen sebagaimana pernah dipraktekkan di era EBTANAS.

Misalnya:

Seorang siswa dinyatakan lulus suatu mata pelajaran yang disyaratkan apabila

(Nilai Semester I + Nilai Semester II + ...+ Nilai Semester VI + nilai UN)/7


3. Menggunakan indeks prestasi kumulatif siswa sebagai syarat kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan dengan standar kelulusan yang ditentukan oleh sekolah. Akan tetapi, penggunaan indeks prestasi kumulatif ini membutuhkan penyesuaian dalam sistem penilaian karena selama ini sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan penilaian dengan angka, berbeda dengan indeks prestasi kumulatif yang menggunakan huruf (A = 4, B = 3, dan seterusnya)


Alternatif 1 dan 3 di atas menyerahkan sepenuhnya kelulusan siswa pada guru dan sekolah. Saat ini memang masih berkembang keraguan terhadap konsistensi penilaian yang dilakukan oleh guru. Akan tetapi, penilaian yang diberikan oleh guru sebenarnya memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

a. guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk menilai, dan pada saat yang sama, mengembangkan kemampuan siswa melalui beragam model penilaian dan aktivitas;
b. penilaian-penilaian yang dilakukan oleh guru berdampak langsung pada perbaikan proses belajar siswa karena adanya umpan balik yang bisa dilakukan segera;
c. Penelitian-penelitian seputar seleksi penerimaan mahasiswa baru yang pernah dilakukan di AS menunjukkan bahwa indeks prestasi kumulatif di SMA, yang merupakan akumulasi dari penilaian-penilaian yang diberikan oleh guru, memiliki kemampuan yang lebih besar dalam memprediksi prestasi akademis di perguruan tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil tes standar yang didasarkan pada penguasaan materi di SMA, seperti Scholastic Achievement Test II (SAT II) dan American College Testing (ACT), maupun yang didasarkan pada kemampuan umum dalam matematika dan bahasa, seperti Scholastic Aptitude Test (SAT).

B. PEMETAAN MUTU PENDIDIKAN

Profesor S. Hamid Hasan mengusulkan untuk mengubah UN menjadi Evaluasi Kualitas Pembelajaran dan Hasil Belajar (EKPHB). Evaluasi ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia. EKPHB tersebut tidak ditujukan sebagai bagian atau alat untuk menentukan keberhasilan peserta didik dari suatu satuan pendidikan (sebagaimana yang dilakukan UN) tetapi sebagai alat untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian kualitas/kompetensi hasil belajar peserta didik, dan kemampuan guru dalam mengembangkan proses atau pelayanan pembelajaran serta kondisi sekolah dilihat dari berbagai aspek standar proses .
EKPHB tersebut dilaksanakan sebagai berikut:
1. Untuk SD evaluasi paling lambat dilakukan di kelas 3 dan 4 sehingga ada waktu 2 atau 3 tahun bagi satuan pendidikan tersebut untuk berbenah. Tindakan pembinaan kualitas yang diperoleh dari kelas 3 dan 4 digunakan untuk memperbaiki seluruh pelayanan pembelajaran di sekolah tersebut.
2. Untuk SMP sederajat dan SMA sederajat, evaluasi dilakukan di akhir kelas 1 atau kelas 2 sehingga sekolah tersebut memiliki waktu 1 atau 2 tahun untuk memperbaiki kualitas pelayanan yang diperlukannya untuk memberikan hasil belajar yang memenuhi SKL. Jika dilakukan pada kelas terakhir maka makna hasil evaluasi itu hanya berguna bagi peserta didik tahun berikutnya sedangkan mereka yang sekarang berada di tahun terakhir tidak mendapatkan manfaatnya.
3. Evaluasi kualitas pembelajaran dan hasil belajar dapat dilakukan oleh BSNP bekerjasama dengan Pusat Pengujian dan Pusat Kurikulum di tingkat pusat sedangkan di tingkat daerah dapat dilakukan oleh dinas pendidikan bekerjasama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).

Kunci penting dalam pelaksanaan EKPHB adalah adanya kejelasan hasil-hasil pemetaan mutu dan skema-skema intervensi yang akan dilakukan. Intervensi tersebut dapat berupa bantuan ataupun pembinaan-pembinaan yang diberikan pada sekolah-sekolah yang belum mencapai standar mutu yang ditetapkan. Akan tetapi, masyarakat tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas tentang hasil-hasil pemetaan mutu ataupun skema-skema intervensi yang akan diterapkan. Ketidakjelasan pemetaan mutu maupun skema-skema intervensi tersebut hanya menjadikan UN sebagai rutininas tahunan yang menelan biaya besar tanpa manfaat yang berarti bagi perbaikan kualitas pendidikan di tanah air.


C. SYARAT UNTUK MEMASUKI JENJANG PENDIDIKAN BERIKUTNYA

1. Seleksi Penerimaan Siswa Baru tingkat SMP dan sederajat ataupun SMA dan sederajat

Hasil UN SMP dan UASBN saat ini digunakan sebagai kriteria penerimaan siswa baru. Tidak dipungkiri bahwa terbatasnya jumlah sekolah bermutu di tanah air melahirkan kompetisi yang ketat untuk mendapatkan peluang mendapatkan pendidikan yang bermutu. Penggunaan hasil UN merupakan alternatif yang mudah untuk menyaring siswa.
Di satu sisi kebijakan ini dapat memotivasi siswa untuk berlomba menjadi yang terbaik, namun di sisi lain dapat berpotensi melanggengkan kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dan melahirkan lingkaran elite pendidikan. Parahnya lagi, kebijakan ini pun telah dimulai sejak level pendidikan dasar yang seharusnya memberikan akses pendidikan bermutu secara luas bagi seluruh anak tanpa membedakan kemampuan akademis mereka, yang ternyata amat dipengaruhi pula oleh kondisi sosial ekonomi.
Serangkaian penelitian yang pernah dilakukan di negara-negara Eropa Tengah dan Timur, antara lain Bulgaria, Estonia, Latvia, Hungaria, Rumania, dan Serbia, menunjukkan bahwa seleksi penerimaan siswa baru berdasarkan prestasi akademis mereka akan memperlebar kesenjangan mutu pendidikan yang diperoleh berdasarkan status sosial ekonomi mereka. Kesenjangan tersebut akan semakin tajam bila proses seleksi tersebut telah dilakukan sejak usia dini.
Seleksi penerimaan siswa berdasarkan hasil ujian semestinya tidak dipandang sebagai solusi ideal, tapi merupakan langkah darurat karena ketidakberdayaan kita menyediakan lebih banyak sekolah-sekolah bermutu. Ke depan, sistem rayonisasi dalam penerimaan siswa baru dapat dipertimbangkan kembali.

2. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Di tingkat SMA dan sederajat, UN dapat dipertimbangkan sebagai salah satu syarat penerimaan mahasiswa baru sebagaimana wacana integrasi UN dan SNMPTN. Tentu saja rencana integrasi ini membutuhkan penyesuaian-penyesuaian karena adanya perbedaan antara tujuan UN dan SNMPTN.
Persoalan penting yang masih menghambat rencana integrasi UN dan SNMPTN tersebut kredibilitas UN itu sendiri. Kualitas teknis UN, seperti keandalan (reliability), kesahihan (validity) , maupun keadilan (test fairness) masih menjadi tanda tanya. Hal lain yang masih mengganjal adalah kecurangan-kecurangan pelaksanaan UN yang masih terjadi. Beberapa kasus kecurangan sempat mencuat dan diliput media massa, namun ditengarai jauh lebih banyak kasus-kasus kecurangan yang menjadi rahasia umum. Selama kredibitas UN masih rendah, tentu terlalu berisiko bila menjadikan UN sebagai alat seleksi masuk perguruan tinggi.


D. EVALUASI KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL

1. Kebijakan penyelenggaraan UN/UASBN perlu dievaluasi secara jujur, terbuka, dan jernih karena asumsi yang melandasi kebijakan tersebut masih lemah, selain dominannya dampak negatif ketimbang dampak positif. Selain itu, kebijakan UN/UASBN juga tidak terencana dengan baik. Terbukti dari berbagai aturan dadakan yang tidak disosialisasikan dalam waktu yang memadai, misalnya dimajukannya waktu pelaksanaan UN dan kebijakan ujian ulang yang hanya diumumkan beberapa bulan sebelum UN dilakukan sehingga sekolah terpaksa melakukan pemadatan-pemadatan kurikulum.

2. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kebijakan UN pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memfokuskan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pengurangan kesenjangan mutu pendidikan di tanah air melalui kebijakan-kebijakan yang lebih strategis dan tepat, misalnya dengan memfokuskan pada pencapaian Standar nasional pendidikan lainnya, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan, selain standar penilaian pendidikan yang di dalamnya meliputi penilaian yang dilakukan guru dan sekolah. Tentu tidak rasional bila pemerintah menuntut output yang tinggi tanpa benar-benar membenahi input dan proses. Dengan kata lain, pemerintah seharusnya tidak hanya terpaku pada upaya meningkatkan mutu melalui kebijakan UN/UASBN yang masih kontroversial. A Malik Gismar (Kompas, 26 November 2009) menyebutkan bahwa “Dari data cohort 1986-2006, bila kita ikuti mereka yang masuk kelas I SD di Indonesia secara longitudinal, maka rata-rata pada tahun keenam yang tidak lulus SD sekitar 27 persen dan pada tahun kesembilan yang tidak lulus SMP 55,8 persen. Sementara itu, pada tahun ke-12 yang tidak lulus SMA adalah 75,5 persen (ESR World Bank, 2007).“ Gismar menyatakan masih besarnya porsi pembiayaan pendidikan yang ditanggung oleh orang tua berkontribusi terhadap tingginya angka putus sekolah tersebut. Liputan Kompas (11 Desember 2009) melaporkan 2,2 juta anak usia wajib belajar belum tersentuh pendidikan dasar sembilan tahun bahwa angka putus sekolah, yang antara lain disebabkan oleh sulitnya akses ke sekolah, kurangnya kesadaran orang tua, dan faktor ekonomi.

3. Informasi tentang penelitian-penelitian tentang efektivitas pelaksanaan UN untuk meningkatkan mutu pendidikan maupun motivasi siswa serta berbagai dampak-dampak negatif pelaksanaan UN belum dapat diakses oleh publik secara mudah. Alangkah baiknya bila website Departemen Pendidikan Nasional juga memuat hasil-hasil penelitian seputar ujian nasional. Mahasiswa maupun peneliti perlu diberi akses untuk menggunakan data-data hasil UN dalam penelitian mereka. Hasil-hasil penelitian tersebut akan sangat berguna dalam mengevaluasi akuntabilitas kebijakan UN.

4. Pihak-pihak yang yang pro dan kotra terhadap kebijakan UN, perlu duduk bersama disertai keterbukaan, kejernihan, dan kejujuran dalam menguji asumsi-asumsi yang melandasi kebijakan tersebut untuk keluar dari polemik yang berkepanjangan dan mencari solusi-solusi yang lebih tepat dan strategis dalam upaya memberikan pendidikan bermutu bagi seluruh anak Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, L. M., Pedulla, J. J. & Madaus, G. F. (2003). Views from the classroom: Teacher’s opinions of statewide testing programs [Electronic Version]. Theory into Practice, 42(1), 18-29.
Amrein, A. L, & Berliner, D. C. (2003). The effect of high-stakes testing on student’s
motivation and learning. Educational Leadership, 60(5), 32-38.
Archer, E. L., & Dresden, J. H. (1987). A new kind of dropout: The effect of minimum competency testing on high school graduation in Texas. Education and Urban Society, 19(3), 269-279.
Bishop, J. H. & Mane, F. (2001). The impacts of minimum competency exam graduation
requirements on high school graduation, college attendance and early labor market success. Labour Economics, 8 , 203-222.
Bishop, J. H., Mane, F., Bishop, M., Moriarty, J. (2001). The role of end-of- course exams and minimum competency exams in standards-based reforms. In D. Ravitch (Ed.), Brookings papers on education policy (pp. 267-330). Washington, DC: Brookings Institution.
Cunningham, W. G., & Sanzo, T. D. (2002). Is high-stakes testing harming lower socioeconomic status schools? NASSP Bulletin, 88(631), 62-74.
Dee, T. & Jacob, B. A. (2006). Do high school exit exams influence educational attainment or labor market performance? Working Paper 12199. Cambridge, MA: National Bureau of Economic Research.
Gregory, K., & Clarke, M. (2003). High-stakes assessment in England and Singapore. Theory into Practice, 42(1), 66-74.
Griffin, B. W., & Heidorn, M. H. (1996). An examination of the relationship between minimum competency test performance and dropping out of high school. Educational Evaluation and Policy Analysis, 18(3), 243-252.
Hanushek, E. A. & Raymond, M. E. (2001). The confusing world of educational accountability [Electronic version]. National Tax Journal, 54(2), 365-384.
Jacob, B. (2001). Getting tough? The impact of high school graduation exams. Educational Evaluation and Policy Analysis, 23(2), 99-121.
Jones, M.G., Jones, B.D., & Hargrove, T.Y. (2003). The unintended consequences of high-stakes testing. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Lee, J. (2006). Input-guarantee versus performance-guarantee approaches to school accountability: Cross-state comparisons of policies, resources, and outcomes [Electronic version]. Peabody Journal of Education, 81(4), 43-64.
Marchant,G. J. & Paulson, S. E. (2005). The relationship of high school graduation exams to graduation rates and SAT scores. Education Policy Analysis Archive, 13(6), 1-17. Retrieved March 10, 2006 from http://epaa.asu.edu/epaa/v13n6.
National Research Council. (1997). High stakes: Testing for tracking, promotion, and graduation. Washington, DC: National Academy Press.
Ravich, D. (2001). Introduction. In D. Ravich (Ed.), Brookings Paper on Education Policy (pp. 1-8). Washington, DC: Brookings Institution Press.
Phelps, R. P. (2001). Benchmarking to the world’s best in mathematics: Quality control in curriculum and instruction among the top performers in the TIMSS. Evaluation Review, 25(4), 391-439.
Vogler, K. E. (2005). Impact of a high school graduation examination on social studies teachers’ instructional practices. Journal of Social Studies Research, 29(2), 19-33.
Warren, J. R., Jenkins, K.N., & Kulick, R. B. (2006). High school exit examinations and state-level completion and GED rates, 1975 through 2002. Educational Evaluation and Policy Analysis, 28(2), 131-152
Watanabe, M. (2007). Displaced teacher and state priorities in a high-stakes accountability context. Educational Policy, 21(2), 311-368.
West, M. R., & Peterson, P. E. (2003). The politic and practice of accountability. In P. E. Peterson & M. R. West (Eds.), No Child Left Behind? The politics and practice of school accountability (pp. 1-20). Washington, DC: Brookings Institution Press.
Willms, J. D. (2006). Learning divides: ten policy questions about the performance and equity of schools and schooling systems. Montreal: UNESCO Institute for Statistics.
Zhao, Y. (2006). Are we fixing the wrong thing? Educational Leadership, 63(8), 28-31.




Read More..

Monday, January 11, 2010

FOCUS GROUP DISCUSSION FGII-KOMNAS HAM



FGD SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS HAK ASASI MANUSIA > FGD yang diselengarakan atas kerjasama DPP FGII - Komnas HAM diikuti oleh 15 peserta dari beragam lembaga/organisasi: Elin Driana (Education Forum (eF)/Dosen PTS); Akhmad Leksono, SH. (Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan/LBHP); Rusmarni Rusli (Komite Advokai Penyandang Cacat Indonesia/Kapci); Widji Sri Rahayu (Solidaritas Perempuan); Aan (Front Mahasiswa Nasional); Ester Lince (Pemerhati Pendidikan); Merlyn (Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal/Lapam); Iwan Hermawan (Koalisi Pendidikan Kota Bandung/KPKB); Virgo (PP Ikatan Pelajar Muhamadyah /IPM); Haris Winarto (SP Lembaga Indonesia Amerika Teacher Assosiation/SP-LIATA); Fildzah Izzati (Mahasiswa Fisip UI/PRP) Teguh Slamet Wahyudi (DPC FGII Depok), Nurafiatin (DPDFGII Jabar), Luthfi (Forum Pelajar Jabar), Ahmad Basori (PB Pejarar Islam Indonesia/PII)


FGD DPP FGII - Komnas HAM dimulai dengan narasumber pemantik Mas Darmaningtyas (Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Penulis Buku Pendidikan Rusak-Rusakan, Menggugat UU BHP dan sejumlah kritik terhadap pendidikan yang tertuang dalam sejumlah buku) yang mengantarkan diskusi dengan membawakan sebuah makalah berjudul “Mengapa Saya Menolak UN?”. Singkatnya ada sembilan alasan yang dikemukakan mas Tyas:

1. UN merupakan cermin berfikir dan bertindak tidak logis dan pemaksaan kehendak kepada murid ;
2. UN sebagai penentu kelulusan itu melanggar UU Sisdiknas. Pasal 58 menyatakan: bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan;
3. Ketidak-konsistenan antara kurikulum dengan model evaluasi belajarnya. Pada tahun 2004 pemerintah ceq Departemen Pendidikan Nasional memperkenalkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian diubah (2006) menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Logisnya, kalau kurikulumnya KBK ataupun KTSP, maka evaluasinya ya pada tingkat sekolah, bukan nasional. Bila kurikulumnya KTSP tapi evaluasi belajarnya pakai UN, ibaratnya kurikulumnya berjalan ke selatan, evaluasi belajarnya berjalan ke utara. Logisnya, tidak pernah akan ketemu, kalau dipaksakan bertemu, maka pasti ada yang dikorbankan;
4. Ketidak-logisan secara substansi. Dua materi yang di UN-kan untuk SMP – SMTA adalah Bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai bahasa keduanya itu berfungsi untuk alat komunikasi, tapi ujiannya obyektif. Kalau mau menguji kompetensi berkomunikasi, maka mestinya ujiannya praktek, karena melalui prakteklah kemampuan berbahasa seseorang dapat teruji. Kalau obyektif jelas tidak akan mampu mengukur kemampuan berkomunikasi seseorang karena prakteknya dalam berkomunikasi lisan, kaidah-kaidah bahasa resmi sering terlanggar, yang penting komunikasinya dapat dipahami oleh lawan bicara;
5. Tidak adil dan diskriminatif. Indonesia ini beragam dari aspek geografis, alam, ekonomis, infrastruktur, status sosial, budaya. Tapi keragaman yang sangat kompleks itu diukur dengan cara yang sama (tunggal), yaitu nilai batas minimum kelulusan;
6. ketidak-jelasan fungsi UN, terutama untuk UN SD/MI/SDLB dan SMA/SMK/MA, karena SD – SMP mestinya satu proses penjenjangan yang berlanjut sebagai satu paket pendidikan dasar yang harus terpenuhi
7. pelaksanaan UN di tingkat SMTA, terutama bagi murid SMA/MA, tidak memperhitungkan beban psikologi anak, akibat keegoan masing-masing instansi.
8. UN sebetulnya menghilangkan kredibilitas guru karena digantikan oleh bimbingan tes. Wajar bila ada usulan bubarkan sekolah dan ganti dengan Bimbel.
9. UN ini sama sekali mengabaikan hak-hak pendidikan bagi kaum difable karena ukuran kelulusannya adalah tunggal menurut standar orang yang tidak mengalami hambatan fisik.

FGD dipandu sangat apik oleh Dan Satriana (Direktur Lembaga Advokasi Pendidikan/LAP Kota Bandung) yang mendorong setiap peserta saling berkomunikasi secara terbuka untuk membedah persoalan pendidikan dari kaca mata HAM. Sejumlah persoalan yang mengemuka dalam FGD antara lain :

 Masalah ketersediaan pelayanan
 Belum terpenuhinya SPM
 Kesenjangan pemenuhan sarana prasarana
 Kualifikasi, Kompetensi, dan Kesejahteraan tenaga pendidikan tidak memadai.
 Akses informasi yang tidak tersedia secara merata
 Kemudahan untuk penyelenggaraan pendidikan.
 Hambatan akibat syarat administrasi spt. akte kelahiran,
 Seleksi masuk sekolah terutama pendidikan dasar;
 Masalah Standardisasi Sekolah yang berujung pada diskriminasi (SBI, RSBI,SSN, SKM)
 Sekolah-sekolah bagi anak berkebutuhan khusus masih terbatas
 Tindakan afirmatif bagi kelompok perempuan.
 Akses perguruan berpihak pada yang kaya
 Kurikulum: Tidak meng-akomodir kebutuhan dan kekhasan
 Metode : Masih mengabaikan hak anak
 Masih Munculnya Kekerasan di lingkungan pendidikan
 Warga belajar/ anak tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan pendidikan
 Pendidikan masih berpusat pada guru dan kekuasaan.

Solusi yang disampaikan peserta FGD secara kelembagaan dan sosial budaya antara lain :
• Diskusi publik mengenai UU BHP
• Diskusi dengan sekolah terkait korban UN sebagai basis fakta untuk advokasi
• Penghapusan syarat-syarat penerimaan siswa baru di kota/ kabupaten yang memberatkan. Kaitkan dengan hak kewarganegaraan anak. Termasuk seleksi akademik.
• Pilihan bagi anak kebutuhan khusus untuk mengakses sekolah inklusi.
Kewajiban sekolah menjadi sekolah inklusi.
• Pengembangan program yang memungkinkan kerjasama semua pihak
• Membuat kurikulum multiklutur anak
• Penghapusan pekerja anak
• Peningkatan profesionalisme guru melalui peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja (hak dasar dan pengembangan kapasitas)
• Sosialisasi UU Perlindungan Anak bagi guru dan warga belajar
• Memperluas dorongan untuk eksekusi putusan MA soal UN
• Pendidikan berbasis keluarga (alternatif untuk anak dengan kebutuhan dan kondisi khusus).

Disadari bahwa FGD ini sebagai awal untuk semakin mendalami sejumlah persoalan pendidikan lainnya maka peserta mengusulkan sejumlah rencana tindak alnjut :
• Menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan mengenai UN;
• Menyusun pemetaan masalah dan indikator HAM dalam kebijakan pendidikan dengan mengacu pada sejumlah instrumen HAM;
• Pertemuan lebih luas untuk sosialisasi dan persiapan advokasi dan kampanye;
• Pertemuan dengan Mendiknas dan Komisi X DPR RI (UN dan UU BHP)
• Melakukan gerakan kultural dalam bentuk kampanye pelanggaran HAM dalam kebijakan UN, UU BHP dan kebijakan pendidikan lainnnya;

Semua peserta bersepakat :
1. Menjadikan Problem HAM dalam kebijakan Ujian Nasional dan UU BHP sebagai pintu masuk untuk membedah persoalan pendidikan lainnya;
2. Gerakan perbaikan pendidikan tidak hanya berhenti di ruang diskusi (dari forum ke forum) tetapi terus maju dalam aksi nyata meskipun akan menghadapi banyak hambatan;
3. Membangun jaringan seluas-luasnya karena gerakan perbaikan pendidikan bukan hanya ranah komunitas pendidikan tetapi harus menjadi gerakan semua masyarakat.



Read More..