Wednesday, December 23, 2009

Ujian Nasional Melanggar HAM


DPP FGII bersama Education Forum (eF) dan Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TekUN)pada tanggal 21 Desember 2009 mengadukan adanya pelanggaran HAM dalam kebijakan Ujian Nasional yang dilakukan oleh Presiden, Wapres, Mendiknas dan Ketua BSNP seperti yang telah diputuskan PN Jakarta Pusat yang diperkuat PT Jakarta dan Mahkamah Agung. Dengan pengaduan itu Komnas HAM memberikan tiga rekomendasi yang disampaikan oleh Jhoni Nelson Simanjuntak (Komisioner Komnas HAM): Pertama, kata Nelson, Komnas HAM mendesak Presiden RI untuk mendengar aspirasi murid, orang tua murid, guru dan masyarakat umum agar Presiden meminta Mendiknas untuk meninjau atau menghentikan UN. Kedua, mendesak MPR untuk mengagendakan persidangan soal UN, karena keputusan PN Jakarta Selatan telah menyertakan, bahwa pemerintah telah lalai dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan.
"Kelalaian seperti itu sebagai sebuah bentuk pelanggaran HAM dan harus diagendakan oleh MPR, karena para tergugat dalam putusan PN yang diperkuat oleh putusan MA tersebut adalah pemerintah (presiden, wapres, dan menteri)," kata Nelson.
Nelson melanjutkan, rekomendasi ketiga dari Komnas HAM adalah mendesak Mendiknas untuk mengambil langkah-langkah konkrit dengan meninjau dan atau menghentikan UN tersebut.




Read More..

Sunday, November 1, 2009

PSI CBA Workshop



Tanggal 14-17 Oktober 2009, Public Services International (PSI) menyelenggarakaran CBA Wokshop di Puri Saron Hotel Senggigi Lombok. Workshop ini diikuti oleh SP afiliasi PSI seperti SP PLN, SP PJB, SP AP-1, SP IP dan SP FGII dan SP PPNI. Collective Bergaining Agreement (CBA) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam pekerjaan sangat perlu dimiliki oleh serikat pekerja dalam melindungi anggota-anggota pekerjanya. Di sejumlah perusahaan PKB sudah banyak dilakukan meskipun belum sepenuhnya memenuhi hak-hak pekerja. Sayangnya di dunia pendidikan PKB masih jauh dari harapan. Yang ada cuma perjanjian kerja (PK) yang bersifat individual antara pekerja profesi guru/tenaga kependidikan dengan satuan pendidikan/yayasan/PT/perkumpulan satuan pendidikan. Serikat Pekerja Guru/Sekolah belum pernah dilibatkan untuk membangun suatu kesepahaman kerja dalam bentuk PKB. Oleh karena itu FGII saat ini sedang merintis agar PKB mulai dirintis di semua daerah dengan melibatkan Serikat2 guru di kabupaten/kota atau di tingkat satuan pendidikan. Read More..

Thursday, June 25, 2009

Rapat Koordinasi Nasional FGII

Rakornas FGII dikordinasi oleh DPD Jawa Barat bersama DPC Kota Bandung.
Pada tanggal 28 Juni 2009 Rakornas rencananya akan dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada hari kedua, 29 Juni 2009 akan dilanjutkan dengan seminar nasional Visi Capres terhadap Kualitas Pendidikan dan Guru. Diharapkan rakornas menghasilkan penguatan program FGII yang lebih kuat kedepan, lebih solid dan pada hari ketiga disampaikan Maklumat Guru Indonesia. Read More..

Wednesday, January 21, 2009

POSISI GURU DALAM PP GURU DAN UU BHP




Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat RI terhadap Undang- Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) maka makin banyaklah Undang-Undang yang mengatur pekerjaan profesi guru di Indonesia. Sebelumnya ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang tentang Kepegawaian bagi PNS, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Serikat Pekerja bagi guru Swasta dan Non-PNS. Kini Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang Guru juga sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Bagaimanakah sesungguhnya posisi guru dalam konteks UU BHP dan PP tentang Guru ?

PP Guru umumnya hanya mempertegas implementasi UU Guru dan Dosen yang memberikan keistimewaan untuk guru-guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dengan berbagai pemberian hak dasar dan berbagai tunjangannya. Guru dalam UU BHP disebut secara umum sebagai pendidik, diatur pada Bab VIII pasal 55 tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan.


Diskriminasi :

PP Guru dan UU BHP pada dasarnya masih bersifat diskriminatif terhadap guru swasta atau non-PNS lainnya. Mayoritas guru swasta masih memperoleh gaji dibawah Upah Minimum Propinsi/Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMP/UMK) tanpa tunjangan fungsional yang merata, tunjangan kesehatan, tunjangan hari tua atau jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Tunjangan profesi.

Dalam PP Guru tunjangan fungsional kepada guru swasta hanya diberikan dalam bentuk “Subsidi” yang sifatnya tidak tetap tergantung ketersediaan dana dan niat pemerintah / pemerintah daerah untuk memberikannya. PP Guru ini jelas tidak memperbaiki klausul yang sama yang termuat dalam pasal 17 UU Guru dan Dosen. Bahkan anggaran untuk tunjangan fungsional guru dimasukan pula sebagai bagian dari “anggaran bantuan sosial” yang memberikan konotasi bahwa bantuan tersebut diberikan karena “belas kasihan” pemerintah/penda bukan atas dasar kewajiban pemerintah/pemda lepada semua guru yang telah menjalani fungĂ­s negara, yang berarti pemberian tunjangan fungsional seharusnya melekat dengan gaji sebagai hak dasarnya. 7 (tujuh) syarat yang harus dipenuhi guru untuk memperoleh tunjangan fungsional dapat merupakan bentuk semakin kurangnya penghargaan terhadap guru dalam menjalankan fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 19 PP Guru menyebutkan bahwa :

Tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional diberikan kepada Guru yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki satu atau lebih Sertifikat Pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi Guru oleh Departemen;
b. memenuhi beban kerja sebagai Guru;
c. mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atau Guru kelas pada satuan pendidikan yang sesuai dengan peruntukan Sertifikat Pendidik yang dimilikinya;
d. terdaftar pada Departemen sebagai Guru Tetap;
e. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun;
f. melaksanakan kewajiban sebagai Guru; dan
g. tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat bertugas.

Pasal 21 PP Guru menyebutkan bahwa :

(1) Tunjangan fungsional Guru yang diangkat oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Subsidi tunjangan fungsional Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang didirikan Masyarakat dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.


Masalah Perjanjian Kerja :

Guru dalam UU BHP secara umum disebutkan sebagai pendidik pada Bab VIII Pasal 55 yang menyebutkan bahwa :

(1) Sumber daya manusia badan hukum pendidikan terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan.
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan.
(Penjelasanan : Pegawai negeri sipil yang pada saat Undang-Undang ini berlaku sudah bekerja di suatu satuan pendidikan menjadi pegawai negeri sipil yang dipekerjakan pada badan hukum pendidikan.
(3) Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
(Penjelasan : Tenaga badan hukum pendidikan yang berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan tetap harus membuat perjanjian dengan pemimpin organ pengelola pendidikan, karena sekalipun tenaga tersebut telah diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, yang bersangkutan belum diangkat oleh badan hukum pendidikan).
(4) Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh remunerasi dari:
a. Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan, dan
b. badan hukum pendidikan sesuai ketentuan dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan dengan status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serta peraturan perundang-undangan.
(6) Penyelesaian perselisihan yang timbul antara pendidik atau tenaga kependidikan dan pimpinan organ pengelola pendidikan diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
(7) Apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak berhasil, penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

Permasalahannya :
1. Perjanjian kerja sebagaimana disebut pada ayat (3) dan ayat (5) baik mengenai pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban pendidik yang wajib dilakukan semua guru (PNS, Swasta, Non-PNS lainnya) dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara akan berdampak pada :

a. Bagi guru PNS akan menambah jalur birokrasi untuk pengangkatan dan pemberhentian guru, padahal pasal 25 UU Guru ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa :
(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Bagi Guru Swasta / Non-PNS menimbulkan beberapa persoalan :
1. Prosedur Perjanjian Kerja dalam pengangkatan dan pemberhentian tenaga pendidik yang termuat dalam UU BHP dapat berdampak pada pelanggengan sistem kontrak kerja. Padahal sebagai bagian dari pekerjaan yang bersifat tetap (bukan pekerjaan waktu tertentu yang bersifat sekali selesai dan sementara sifatnya/musiman/terkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu saja) pekerjaan profesi guru tidak dapat diberlakukan dengan sistem kontrak. Sistem kontrak selain bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan juga akan merugikan keberlangsungan peserta didik untuk memperoleh kegiatan pembelajaran bersama dengan tenaga pendidik secara berkelanjutan.
2. Prosedur Perjanjian Kerja yang termuat dalam UU BHP telah mengurangi makna Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam rangka pengaturan hubungan kerja yang setara antara para pihak yang termuat dalam UU Guru. Pasal 25 UU Guru ayat (3) menyebutkan bahwa :”Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”. Perjanjian kerja dalam konteks UU BHP dapat ditafsirkan sebagai perjanjian tertutup yang hanya memuat hak dan kewajiban para pihak sesuai tafsiran institusi BHP. Dalam posisi seperti ini guru hanya akan menandatangani kesepakatan kerja yang sudah disediakan institusi BHP secara perorangan tanpa keterlibatan organisasi yang menaunginya (catatan : dalam UU Guru dan RPP Guru PKB/KKB juga tidak diatur). Padahal pasal 1 butir 7 ketentuan umum UU Guru menyebutkan bahwa PKB/KKB harus dilakukan berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan kesejawatan. Dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan guru sebagai bagian dari pekerja profesi juga dilindungi oleh organisasinya/serikat pekerjanya dalam dalam menentukan perangkat hubungan kerjanya melalui perjanjian kerja bersama (PKB).

Tanpa Kepastian UMP/UMG :

UU BHP mengulang peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur soal guru, yaitu tidak pernah memberikan kepastian standar minimum gaji (Upah Minimum Guru/UMG), khususnya untuk guru yang bekerja di lembaga pendidikan swasta atau non-PNS lainnya. UMG guru swasta selama ini hanya diatur secara tidak pasti oleh UU Ketanagakerjaan dengan mengacu pada Upah Minimu Provinsi (UMP). Dengan demikian UU BHP tetap akan tidak memperjelas posisi guru non-PNS terutama guru swasta.

Dampak Pailit BHP :

Pengaturan institusi pendidikan yang diatur oleh UU BHP seperti pengaturan sebuah perusahaan tidak hanya akan berdampak negatif pada keberlangsungan kegiatan pembelajaran peserta didik jika institusi BHP tersebut dinyatakan pailit/ditutup/dicabut izinnya tetapi juga berdampak pada keberlangsungan pekerjaan para pekerja profesi guru, karena meskipun terdapat pasal yang mengatur pemindahan peserta didik dan guru ke institusi BHP lainnya, posisi/status/pekerjaan guru, terutama yang Non-PNS belum dapat dipastikan dijamin di tempat yang baru.

Konsekuensi UU BHP:

2. Penerapan Perjanjian Kerja bagi pendidik dalam satuan pendidikan BHP sebagaimana diatur oleh UU BHP mempertegas bahwa posisi guru adalah ”Pekerja Profesi”, yaitu guru sebagai pekerja dengan keahlian khusus yang menerima gaji dari pihak yang mempekerjakannya/BHP;
3. Institusi Perjanjian Kerja menyebabkan hal-hal yang terkait dengan hubungan kerja secara hukum harus diselesaikan dengan menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan;
4. Dengan pengaturan hubungan kerja yang didasarkan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan maka guru semestinya juga berhak atas semua hak yang dimiliki para pekerja lainnya sebagaimana termuat didalam UU Ketenagakerjaan, termasuk hak berserikat dan hak mogok yang dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditujukan untuk kepentingan terbaik anak didik;
5. Karena guru sebagai pendidik memiliki perwakilan sebagai anggota organ representasi pemangku kepentingan dalam BHP yang mempunyai tugas menentukan dalam menentukan kebijakan BHP maka sebagaimana amanat Undang-Undang Guru dan Undang-Undang Ketenagakerjaan kelompok guru dalam satuan pendidikan BHP berhak membentuk Serikat Pekerja Pendidik untuk menjadi wakil pendidik dalam organ representasi pemangku kepentingan.

Pasal 18 UU BHP menyebutkan bahwa :
(1) Anggota organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah, paling sedikit terdiri atas:
a. pendiri atau wakil pendiri,
b. pemimpin organ pengelola pendidikan,
c. wakil pendidik,
d. wakil tenaga kependidikan, dan
e. wakil komite sekolah/madrasah.
(2) Anggota organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, paling sedikit terdiri atas:
a. pendiri atau wakil pendiri,
b. wakil organ representasi pendidik,
c. pemimpin organ pengelola pendidikan,
d. wakil tenaga kependidikan, dan
e. wakil unsur masyarakat

Pasal 22 UU BHP menyebutkan bahwa :
Tugas dan wewenang organ representasi pemangku kepentingan pada badan hukum pendidikan adalah:
a. menyusun dan menetapkan perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta perubahannya,
b. menyusun dan menetapkan kebijakan umum,
c. menetapkan rencana pengembangan jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan anggaran tahunan,
d. mengesahkan pimpinan dan keanggotaan organ representasi pendidik,
e. mengangkat dan memberhentikan ketua serta anggota organ audit bidang non-akademik,
f. mengangkat dan memberhentikan pemimpin organ pengelola pendidikan,
g. melakukan pengawasan umum atas pengelolaan badan hukum pendidikan,
h. melakukan evaluasi tahunan atas kinerja badan hukum pendidikan,
i. melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan pemimpin organ pengelola pendidikan, organ audit bidang non-akademik, dan organ representasi pendidik.
j. mengusahakan pemenuhan kebutuhan pembiayaan badan hukum pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
k. menyelesaikan persoalan badan hukum pendidikan, termasuk masalah keuangan, yang tidak dapat diselesaikan oleh organ badan hukum pendidikan lain sesuai kewenangan masing-masing.

Solusi :

Diskriminasi dalam pekerjaan secara konstitusional jelas-jelas tidak dibenarkan. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 14 ayat (1) juga menyebutkan bahwa : ”Setiap guru berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.

Semangat dibentuknya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan disusunya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Guru adalah menghapus diskriminasi di kalangan para pekerja profesi guru dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan, kualitas dan perlindungan kepada guru. Kenyataannya dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih terlihat hal-hal yang dapat mendiskriminasikan guru-guru non-PNS/Swasta dan menghambat guru untuk memperoleh peningkatan kesejhateraan, kualitas dan perlindungannya.



Untuk menghapus diskriminasi dengan segala bentuknya dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan guru serta mengembalikan semangat awal pembentukan Undang-Undang Guru yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, kualitas dan perlindungan guru sekaligus berarti memperbaiki kondisi belajar peserta didik maka perlu disikapi berapa hal :

1. Dalam rangka menjalankan kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan guru terhadap tindakan diskriminasi dan perlakuan tidak adil sebagaimana amanat pasal 39 UU Guru maka pemerintah harus menghapuskan segala bentuk ketentuan yang dapat menimbulkan tindakan diskriminasi dan tidak adil terhadap guru. Pembiaran terhadap aturan-aturan yang menimbulkan diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap guru dapat merupakan pelanggaran terhadap pasal 39 UU Guru yang dapat dikenakan sangsi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 UU Guru yang menyebutkan bahwa : Ayat (1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa: teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan, atau pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.

Pasal 1 butir 5 menyebutkan bahwa : ”Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal”. Hal ini berarti bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan dapat dikenakan sangsi jika melakukan tindakan diskriminatif dan tidak adil terhadap guru.

2. Bahwa tunjangan fungsional diberikan sebagai tunjangan yang melekat pada gaji tanpa syarat tambahan;
3. Bahwa Tunjangan Maslahat tambahan yang terkait dengan pelayanan kesehatan harus diberikan tanpa syarat kepada semua guru swasta;
4. Harus diberikan hak sesungguhnya kepada guru untuk membentuk Serikat Pekerja Profesi Pendidik/Guru di setiap satuan pendidikan BHP untuk mewakili kepentingan pendidik dalam organ representasi pemangku kepentingan dalam BHP;
5. Harus ada pengaturan tentang PKB/KKB untuk guru swasta (dengan UU BHP maka untuk semua guru) yang memberikan perlindungan, kesetaraan dan kesejawatan kepada guru swasta/non-PNS serta keikutsertaan organisasi guru/serikat pekerja profesi pendidik/guru dalam penetapan PKB/KKB tersebut;
6. Harus ada aturan lain yang memastikan pemberian tunjangan gaji/tunjangan fungsional/maslahat tambahan sebesar UMP dan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) bai guru-guru swasta.

Jakarta, 19 Januari 2009
Perkumpulan Sekolah Guru Kihadjar
(Kita Berhak atas Pendidikan dan Pengajaran)

Ketua,

SUPARMAN
Read More..

Friday, January 2, 2009

Consolidation Meeting DPP FGII at Semarang

Happy New Year

National consolidation meeting of DPP FGII will be held at Semarang in 3-4 January 2009. There are main agendas for this year.
1. Build solidarity vision through education and regular meeting
2. Strengthen and improving membership through DPD and DPC
3. Accummulation member fees
4. Improving and strengtrhening of Influencing FGII on education policies for improving education

Venue : Bapelkes Central Java
OC : PGKSI central Java

Read More..