Thursday, September 25, 2008

Discussion with SP LIATA-LBH Jakarta, 24 September 2008





Teacher Solidarity for the improvement of education

Four agenda with the general DPP Chairman FGII as one source of information of public discussion, Clearing System for Teachers Private Contacts, "which held the AL LIATA and LBH Jakarta. Fourth agenda is proposed to build worker solidarity, teachers, laborers and other workers:
1. Formulating the ideological movement and a clear vision.
2. Conducting education development in their respective unions
3. Promote social and financial capital movement
4. Mastery in the political field Read More..

Wednesday, September 24, 2008

Tempointeraktif September 2008

Menteri Pendidikan Tak Percaya Pengaduan Guru Kontrak di Sabah

Jum'at, 05 September 2008 | 21:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan dirinya tidak mempercayai pengaduan Forum Guru Tidak Tetap untuk Pendidikan Anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah (FGTTS). Pasalnya, kata dia, hingga hari ini forum guru tersebut tidak pernah datang mengadu ke Departemen Pendidikan Nasional terkait ketidaknyamanan yang dialami.

Perwakilan Forum Guru, kata Bambang, memang pernah mendatangi Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, namun bukan untuk mengadu tetapi meminta pemerintah mengangkat mereka menjadi pegawai negeri sipil. "Mereka kesal karena permintaannya ditolak, padahal dalam perjanjian sudah jelas posisi mereka hanya kontrak" kata Bambang menjawab Tempo usai Rapat Koordinasi Finalisasi Anggaran pendidikan 2009 di Kantor Menkokesra Jakarta, Jumat (5/9).

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Baedhowi menyatakan akan menimbang-nimbang untuk mengirim lagi guru ke Sabah jika masih ada tuntutan seperti gaji yang tak sesuai SK, hunian yang tak layak dan jaminan kesehatan yang tak jelas. Kloter pertama sejumlah 51 guru dari 109 guru yang dikirim ke Sabah Malaysia telah kembali Agustus lalu. Kelompok guru tidak tetap tersebut memprotes beberapa kebijakan pemerintah seperti gaji yang tak sesuai SK, hunian yang tak layak dan lainnya.

Reh Atemalem Susanti
TOPIK

* tuntutan guru
* Departemen Pendidikan Nasional Read More..

Berita Sore, Palembang, September 2008

Kenaikan Tunjangan Fungsional Guru Segera Dibayarkan

18 September 2008 | 12:59 WIB


Palembang ( Berita ) : Kenaikan tunjangan fungsional untuk pegawai bidang pendidikan guru, penilik, dan pengawas sebesar Rp100 ribu per bulan segera dibayarkan Pemko Palembang dalam waktu dekat ini.

“Pembayaran kenaikan tunjangan fungsional tersebut masih menunggu pengesahan APBD perubahan dan diharapkan sebelum lebaran sudah bisa dibayarkan,” kata Kepala Bagian Keuangan Pemko Palembang, M.Hoyin, Rabu [17/09].

Namun, pihaknya masih membutuhkan dana tambahan dari pemerintah pusat karena anggaran yang tersedia hanya sebesar Rp13,6 miliar.Sedangkan kebutuhan untuk membayarkan dana kenaikan tunjangan fungsional tersebut mencapai Rp31 miliar lebih, tambahnya.

Ia mengatakan, walaupun belum mendapatkan suntikan dana dari pemerintah pusat pihaknya tetap akan membayarkan kenaikan uang tunjang fungsional sesuai dengan anggaran yang tersedia.Kekurangannya akan dibayarkan setelah mendapat alokasi dana dari APBN, katanya.

Sementara itu, pembayaran tunjangan fungsional bidang pendidikan tersebut akan dibayarkan kepada 12 ribu PNS di lingkungan Diknas Palembang.Kenaikan tunjangan fungsional tersebut belum dibayarkan sejak keluarnya ketentuan baru mulai Januari 2007 sampai bulan kesembilan 2008, ujarnya.

Dia menambahkan dengan ketentuan baru tersebut guru dan penilik sekolahgolongan II memperoleh tunjangan fungsional sebesar Rp286 ribu, III Rp327 ribu dan IV Rp389 ribu per bulan.

Sedangkan, pegawai pengawas TK/SD golongan III menjadi Rp506 ribu dan IV 568 ribu serta pengawas SLTP/SM golongan III Rp644 ribu dan IV Rp705 ribu per bulan, ujarnya. ( ant )

Artikel dalam kategori : Pendidikan & Budaya Read More..

Berita Sore Makasar, September 2008

Pendidikan Gratis Harus Dukung Kesejahteraan Guru

16 September 2008 | 15:32 WIB


Makassar ( Berita ) : Pendidikan gratis yang mulai diterapkan pemerintah provinsi Sulsel (Pemprov Sulsel) dan pemerintah kabupaten/kota pada tahun ajaran baru 2008, juga harus mampu mendukung kesejahteraan para guru tetap dan honorer.

“Kebijakan program pendidikan gratis mulai tingkat pusat hingga daerah, hendaknya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan para guru, jangan hanya memfokuskan pada pemberian layanan terhadap siswa tanpa dibarengi pemberian layanan pada guru,” kata Ketua Forum Komunikasi Perhimpunan Aspirasi Guru Indonesia (PAGI) Sulsel, di Makassar, Selasa [16/09] .

Dia mengatakan, program pendidikan gratis yang meninggalkan upaya meningkatkan kesejahteraan guru, hanya akan menimbulkan persoalan baru. Alasannya, harus diakui sejumlah pendapatan sampingan guru, tidak ada lagi. Padahal sebenarnya pendapatan sampingan itu hanya untuk menutupi rendahnya apresiasi pemerintah terhadap kerja keras para guru.

Menurutnya, selama ini paradigma yang terbangun di tataran pemerintah dan masyarakat adalah minimnya akses siswa yang kurang mampu dalam mengecap pendidikan, padahal satu hal yang penting yang perlu diperhatikan pula adalah peningkatan kesejahteraan guru.

“Para guru tetap mungkin dengan adanya UU tentang guru dan dosen, akan lebih baik tingkat kesejahteraannya, namun bagi para guru honorer, honor yang diperoleh selama ini mungkin belum sebanding dengan ‘keringatnya’,” katanya lalu melanjutkan, pada guru honorer sebenarnya adalah ujung tombak sektor pendidikan, karena biasanya lebih pro aktif dibanding guru tetap yang berstatus PNS.

Karena itu, lanjut Syamsu yang juga anggota DPRD Kota Makassar, peningkatan kualitas pendidikan ataupun pemberian pelayanan pendidikan gratis seharusnya memiliki korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan guru.

Sementara itu, Musdalifah salah seorang guru SMA negeri di bilangan Jalan St Alauddin Makassar mengatakan, kebijakan pemerintah dengan pemberian insentif kepada guru melalui tunjangan fungsional, sebenarnya belum menyentuh dasar peningkatan kesejahteraan guru. Sebab, persentase kenaikan tunjangan fungsional tersebut tidak sebanding dengan kenaikan harga sembako di lapangan yang jauh lebih tinggi. ( ant )

Artikel dalam kategori : Pendidikan & Budaya Read More..

Kompas September 2008

Kualitas Pendidikan
Kualifikasi Guru Jadi Masalah Negara Besar
Senin, 10 Maret 2008 | 00:50 WIB

Nusa Dua, Jakarta - Peningkatan jumlah dan kualitas guru menjadi isu utama dalam pertemuan sembilan menteri pendidikan negara-negara berpenduduk besar. Hanya sekitar 50 persen guru yang mempunyai latar belakang pendidikan sarjana kependidikan atau pendidikan khusus menjadi guru.

Di Indonesia, hanya sepertiga guru berlatar belakang pendidikan setara sarjana. Di antara negara-negara berpenduduk besar itu, hanya Brasil dan Meksiko yang memiliki guru dengan pendidikan memadai. Adapun di China, India, Nigeria, dan Pakistan, jumlah guru yang berpendidikan tinggi, terlebih lagi khusus di bidang kependidikan, masih di bawah 40 persen.

Demikian terungkap dalam jumpa pers terkait pertemuan Seventh E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Minggu (9/3). Grup E-9 beranggotakan para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk besar di dunia, yaitu Banglades, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan. Pertemuan E-9 ketujuh tersebut diselenggarakan di Bali, 10-12 Maret 2008.

Dibahas luas

Guru dipandang sebagai unsur sangat vital dalam pembangunan pendidikan. Dalam pertemuan para menteri tersebut, isu tenaga pendidik atau guru dibahas secara luas, mulai dari pendidikan guna persiapan tenaga guru, perkembangan karier guru, serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran jarak jauh.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyatakan, ketersediaan guru masih menjadi masalah besar. Untuk mencapai target Education for All di negara-negara UNESCO atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Pendidikan, Sosial dan Kebudayaan, dibutuhkan sekitar 18 juta guru baru, dan 40 persen dari jumlah tersebut dibutuhkan oleh sembilan negara berpenduduk besar tersebut.

Chief Section for Teacher Education Division of Higher Education UNESCO Caroline Pontefract mengungkapkan, tidak mudah mendapatkan orang yang tepat untuk menjadi guru. Apalagi, disertai dengan latar belakang pendidikan atau akademik yang baik dan relevan. Salah satu penyebabnya ialah kurang dihargainya profesi guru.

”Bagaimana membuat karier guru lebih dihargai dan kesejahteraan memadai,” ujarnya.

Caroline menambahkan, untuk menentukan dan mengukur kebijakan negara terhadap persoalan guru harus berdasarkan bukti-bukti yang terangkum dalam sistem koleksi data.

Fasli menambahkan, di Indonesia telah ada upaya memerhatikan kualitas dan kesejahteraan guru. Di masa lalu, anggaran lebih banyak disalurkan untuk pembangunan fisik. Pembangunan sumber daya manusia, termasuk guru, masih sangat kurang sehingga status dan kebanggaan menjadi guru terus menurun.

”Indonesia telah memulai dengan ide mencanangkan guru sebagai profesi. Tantangannya ialah menjadikan guru sebagai profesi yang menarik dan menjaga jalur karir mereka,” ujarnya. (INE) Read More..

Opini Kompas tentang Pendidikan, Mei 2008

Pendidikan yang Menyesatkan
Jumat, 2 Mei 2008 | 00:26 WIB

Darmaningtyas

Praksis pendidikan nasional kian kering dan cenderung menyesatkan. Hal itu karena terlepas dari proses kebudayaan dan lingkungan sosial yang ada.

Substansi pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia (Ki Hadjar Dewantara) atau sebagai proses pemanusiaan manusia (Driyarkara) justru terabaikan oleh berbagai persoalan teknis, manajerial, dan birokrasi. Padahal, ketiga masalah itu seharusnya hanya menjadi penopang substansi pendidikan, bukan sebaliknya. Tetapi, perhatikan pidato birokrat pendidikan di negeri ini, semua hanya bicara masalah teknis-manajerial.

Fenomena tragis itu bermula dari istilah yang dikembangkan dunia pendidikan berasal dari istilah manajemen industri/ekonomi. Istilah-istilah itu terus diproduksi, lalu menjadi wacana dan secara substil membentuk watak baru institusi maupun praksis pendidikan nasional.

Istilah ekonomi

Awalnya istilah ”SDM” (sumber daya manusia) yang diadopsi mengganti kata ”manusia”. Istilah ini banyak dipakai sejak Wardiman Djojonegoro menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya jarang menggunakan istilah itu. Kata SDM hanya digunakan dalam konteks ekonomi saja.

Dalam wawancara pribadi (1998), Fuad Hassan menjelaskan, istilah manusia itu lebih kompleks dan multidimensi daripada SDM yang lebih bersifat ekonomis dan dapat dieksploitasi. Mengganti kata manusia dengan SDM sama dengan mereduksi harkat kemanusiaan.

Penggunaan istilah SDM sejalan dengan konsep pendidikan link and match. Pada kurun waktu yang sama, demam globalisasi mewabah dan menjangkiti pejabat Indonesia, terlebih sejak KTT APEC di Bogor (1994). Penggunaan kata SDM diiringi kata-kata: unggul, nilai tambah, kompetensi, kompetisi, pasar, daya saing, dan lainnya. Berbagai pidato pejabat selalu merangkai kata-kata ”menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi unggul atau nilai tambah untuk berkompetisi atau bersaing di pasar global”. Sejak itu, terminologi di korporasi menjadi terminologi sah dunia pendidikan nasional.

Reformasi politik (Mei 1998) bukan mengoreksi, justru memperkaya kekeliruan. Istilah manajemen industri yang diadopsi konsultan dan birokrat pendidikan bertambah banyak, seperti Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), produktivitas, sertifikasi, standardisasi, standar nasional, standar internasional, Sertifikat ISO, Dewan Audit, dan Majelis Wali Amanah.

Bersamaan penambahan istilah manajemen, kian kuat pula upaya pembentukan watak atau karakter institusi/praksis pendidikan menjadi korporasi, yang diikuti perubahan mindset orang- orang di dalamnya. Praksis pendidikan lalu tidak mengarah kepada pencerdasan dan pemerdekaan bangsa, atau pemanusiaan manusia, tetapi lebih melayani kepentingan pemilik kapital. Kebijakan maupun substansi pendidikan yang dikembangkan pun cenderung memperkaya ekonomi maupun budaya negara pemilik kapital dengan memiskinkan (ekonomi maupun budaya) bangsa sendiri.

Pembelajaran bahasa asing sejak TK dan SD demi standar internasional merupakan bentuk kolonialisasi atas bahasa dan budaya lokal yang seharusnya dikembangkan oleh praksis pendidikan. Demikian pula mengukur kemajuan pendidikan hanya dari satu unsur juga amat menyesatkan karena mengabaikan aspek ketahanan pangan, papan, sandang, dan budaya. Kenyataannya, manusia dapat hidup tanpa teknologi informasi asal ketahanan pangan, sandang, papan, dan budayanya terjaga.

Gejala praksis pendidikan yang menyesatkan itu juga tampak dari berbagai kebijakan. Demi efisiensi, misalnya, bidang-bidang studi humaniora atau agro yang sedikit peminat harus ditutup. Sulit membayangkan bila suatu nanti Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta harus tutup karena dinilai tidak efisien dan jumlah mahasiswanya lebih sedikit dari jumlah dosennya.

Praksis pendidikan sebagai proses kebudayaan seperti diletakkan Ki Hadjar Dewantara hilang sama sekali, itu terlihat dari perubahan nama dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namanya bertambah panjang, tetapi cakupannya kian sempit karena sebatas manajerial saja.

Melegitimasi kekeliruan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan nasional justru melegitimasi kekeliruan cara berpikir yang mengarah pembentukan korporasi pendidikan. Gagasan UU Sisdiknas adalah untuk membentuk korporasi pendidikan. Banyak pasal dalam UU Sisdiknas mengamanatkan pentingnya sertifikasi, standardisasi (nasional dan internasional), pembentukan badan hukum, dan hal-hal di luar pendidikan.

Istilah ”guru” tidak lagi ditemukan lagi dalam UU Sisdiknas karena diganti kata ”pendidik”. Padahal, dalam bahasa Sanskerta, guru lebih dari pengajar. Seorang guru adalah ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping, dan pemimpin spiritual. Etimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Jadi, guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran (Anita Lie, 2008).

Keberadaan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akan kian menyesatkan karena substansi RUU BHP lebih menyangkut tata kelola lembaga pendidikan yang diarahkan mengikuti tata kelola korporasi. Seluruh istilah yang dipakai dalam pasal RUU BHP adalah istilah korporasi sehingga bila disahkan menjadi UU, otomatis membentuk watak lembaga pendidikan identik dengan korporasi. Atas dasar itu, RUU BHP tidak layak disahkan menjadi UU BHP dan harus ditolak. Praksis pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan dengan cara mengembalikan terminologi yang dipakai/dikembangkan adalah terminologi pendidikan dan kebudayaan, bukan terminologi manajemen korporasi.

Darmaningtyas Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa di Yogyakarta Read More..

Opini Kompas tentang Pendidikan, September 2008

Kontroversi Pendidikan Profesi Guru
Rabu, 24 September 2008 | 00:23 WIB

Waras Kamdi

The power to change education—for better or worse—is and always has been in the hands of teachers (Judith Lloyd Yero, 2003).

Begitu strategisnya posisi guru dalam pendidikan, maka tidak salah jika pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidik melalui Pendidikan Profesi Guru sebagai kunci peningkatan mutu pendidikan nasional.

Melalui partisipasi guru, sadar atau tidak, guru secara individual memiliki kekuatan untuk membuat usaha pembaruan pendidikan yang berhasil atau sebaliknya, merusaknya.

Melalui situsnya, beberapa pekan terakhir, Direktorat Ketenagaan Ditjen Pendidikan Tinggi memublikasikan Rancangan Permendiknas Pendidikan Profesi Guru disertai Pedoman Pendidikan Profesi Guru Pra-jabatan, dan Naskah Akademiknya.

Sebenarnya, sejak diedarkan terbatas Juni 2007, Rancangan Pendidikan Profesi Guru itu telah menuai kontroversi. Perbedaan pandangan mencuat tajam antara tim ad hoc dengan sejumlah tokoh dan pemerhati pendidikan guru dalam pertemuan yang digelar Ditjen Dikti di Hotel Jayakarta Jakarta, 30 Maret 2008. Namun, hingga draf rancangan yang dipublikasikan itu, nyaris tak ada perubahan berarti.

Inti masalah terletak pada kecermatan akademik dalam Rancangan Pendidikan Profesi Guru yang secara konseptual tidak memadai, bahkan dikesankan banyak pihak, telaah akademiknya dikerjakan serampangan dengan pendekatan berpikir kira-kira.

Pedoman pendidikan dan Rancangan Permendiknas-nya pun mengidap cacat bawaan dari naskah akademik. Jika rancangan ini terus menggelinding menjadi ketetapan Permendiknas, dikhawatirkan akan melengkapi pengalaman pahit Presiden Yudhoyono setelah ”Super Toys” dan ”Banyu Geni”.

Selain itu, grand design Pendidikan Profesional Guru dalam rangka Sertifikasi Guru menjadi makin tidak jelas juntrungnya.

Kekacauan konsep

Ada frase yang dikacaukan satu sama lain kemudian mengundang kontroversi, yaitu ”Pendidikan Profesional Guru”, ”Pendidikan Guru Konsekutif”, ”Pendidikan Guru Terintegrasi (Concurrent)”, ”Pendidikan Akademik Guru”, dan ”Pendidikan Profesi Guru”.

Dalam praktik pendidikan guru di Tanah Air dikenal Pendidikan Guru Konsekutif (untuk PGSM) dan Pendidikan Guru Terintegrasi (khusus untuk PGSD). Pendidikan Guru Konsekutif dimulai dengan penguasaan disiplin ilmu tertentu sesuai mata pelajaran di sekolah menengah, lalu ditambah (plug-in) penguasaan kemampuan ilmu kependidikan.

Jenis pelaksanaannya, Pendidikan Guru Konsekutif dilakukan dalam jalur kependidikan maupun jalur nonkependidikan yang kemudian menambah paket kependidikan. Sedangkan Pendidikan Guru Terintegrasi sejak awal pendidikan, penguasaan disiplin ilmu yang diajarkan di SD dan penguasaan pedagogisnya dilakukan secara terintegrasi. Pada program S-1, keduanya berujung diperolehnya ijazah (akademik) sarjana pendidikan (SPd) sehingga disebut ”Pendidikan Akademik Guru”.

Keberadaan Pendidikan Profesi Guru menjadi tuntutan setelah UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Lazimnya seperti dilakukan pada bidang kedokteran, akuntan, atau lawyer, Pendidikan Profesi Guru dilakukan secara internship setelah melalui pendidikan akademik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik ”mencemplungkan diri” menerapkan kemampuan akademik dalam kegiatan profesi guru di sekolah disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan dalam waktu memadai.

Maka, Pendidikan Profesi Guru harus mensyaratkan peserta penyandang SPd, baik yang berasal dari jalur Pendidikan Konsekutif maupun Pendidikan Guru Terintegrasi.

Pendidikan akademik dilakukan dalam basis kampus, berujung diperolehnya ijazah sarjana. Sedangkan pendidikan profesi dilakukan secara internship di sekolah, berujung didapatnya sertifikat. Semua proses pendidikan guru, mulai dari pendidikan akademik hingga diteruskan ke pendidikan profesi guru disebut ”Pendidikan Profesional Guru”.

Kekacauan konsep dalam Rancangan Permendiknas bermula dari Naskah Akademik dan Pedoman Pendidikan Profesi Guru versi Ditjen Dikti karena tidak mampu membedakan ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang akademik dengan ”Pendidikan Profesi Guru” yang internship.

Pasal 10 Struktur Kurikulum yang terdiri mata kuliah akademik dan pendidikan bidang studi ditambah Praktik Pengalaman Lapangan, dan Pasal 11 tentang Beban Belajar dengan rentang 18-40 >small 2small 0<, jelas menunjukkan, yang dimaksud ”Pendidikan Profesi Guru” dalam Rancangan Permendiknas ini tidak lain adalah ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang bercirikan pendidikan akademik, nyaris tak beda atau reinkarnasi program Akta bagi S-1 nonkependidikan yang dikenal selama ini.

Ini berarti bagi peserta S-1 dan D-IV (jika ada) kependidikan akan mengulang ”cerita” pendidikan akademiknya dan bagi peserta S-1 dan D-IV nonkependidikan selayaknya menempuh ”Pendidikan Guru Konsekutif” guna mendapatkan ”Pendidikan Akademik Guru”. Singkat kata, ”Pendidikan Profesi Guru” yang bercirikan kegiatan internship yang dimaksud sebenarnya belum berhasil dirumuskan.

Reformasi LPTK

Pasal 3 Rancangan Permendiknas menyebutkan, program Pendidikan Profesi Guru diselenggarakan LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah. Pengalaman praktis LPTK sebatas menyelenggarakan pendidikan guru konsekutif dan konkuren melalui aneka jenis paket kependidikan, dan menghasilkan sarjana pendidikan (akademis) yang ditandai perolehan ijazah dan gelar SPd.

Pendidikan Profesi Guru melalui internship di sekolah minimal satu tahun itu pasti bukan format praktik pengalaman lapangan (PPL) yang selama ini dikenal di LPTK, yang masih dalam ranah pendidikan akademik guru. Dengan kerangka pikir baru, Pendidikan Profesional Guru dilakukan berjenjang dari pendidikan sarjana akademik di LPTK lalu pendidikan profesi setelah sarjana, maka reformasi kurikulum LPTK secara menyeluruh dan pengembangan Pendidikan Profesi Guru menjadi keniscayaan dalam pengembangan Pendidikan Profesional Guru.

Sejalan dengan itu, LPTK perlu mengembangkan program operasional internship Pendidikan Profesi Guru yang belum pernah ada, dengan penyeliaan yang sistematis berbasis sekolah laboratorium atau sekolah mitra.

Memerhatikan dampak yang luas dalam sistem pendidikan di Tanah Air, formulasi pendidikan profesional guru tak boleh dilakukan grusa-grusu, ”kejar tayang”, hanya untuk memenuhi target proyek. Dalam hal ini, kita perlu lebih arif karena kini saatnya menata Pendidikan Profesional Guru secara cermat dan sungguh-sungguh untuk menuai generasi guru baru yang ”perkasa” mengubah mutu pendidikan, mengubah menjadi lebih baik, dan bukan merusaknya.

Waras Kamdi Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang; Anggota Kelompok Peduli Pendidikan Guru Read More..

Opini Kompas tentang Pendidikan, September 2008

Lonceng Kematian Sekolah Swasta
Rabu, 24 September 2008 | 00:20 WIB

S BELEN

Tahun 2009, anggaran pendidikan mendapat tambahan Rp 46,15 triliun hingga menjadi Rp 224 triliun (20 persen APBN). Penghasilan guru dan dosen PNS terendah minimal Rp 2 juta, belum termasuk kenaikan kesejahteraan sekitar 14-15 persen gaji pokok.

Kabar menggembirakan bagi guru dan dosen PNS itu ternyata tak dinikmati guru sekolah swasta. Bagi mereka, ketentuan itu hanya menjadi pelipur lara. Guru nonsarjana hanya mendapat subsidi tunjangan Rp 50.000 dan guru S-1 Rp 100.000 per bulan (Kompas, 10-12/9/2008).

Tambahan ini akan digunakan untuk menaikkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), menambah guru madrasah, rehabilitasi sekolah, peningkatan sarana sekolah, peningkatan kualitas pendidikan nonformal, dan penelitian pendidikan.

Lonceng kematian

Pada era reformasi, gaji PNS—termasuk guru PNS—berkali-kali dinaikkan pemerintah. Hal ini memaksa yayasan swasta menyetarakan gaji guru dengan guru PNS. Akibatnya, alokasi dana untuk gaji guru di sekolah swasta favorit di perkotaan yang dulu sekitar 60 persen dari total anggaran kini 70 persen hingga 85 persen. Jika ditambah insentif pemerintah daerah, terutama di Jakarta dan Kalimantan Timur, jurang penghasilan guru PNS dan swasta kian lebar.

Bantuan dana BOS bagi swasta tak memecahkan masalah karena terbanyak untuk gaji guru. Nasib guru sekolah swasta menyedihkan. Sebuah SMA swasta di Jakarta hanya mampu menggaji Rp 1 juta bagi guru yang sudah mengabdi 12 tahun. Di Yogyakarta ada guru yang masih digaji Rp 300.000. Banyak sekolah seperti ini. Kesejahteraan guru PNS akan kian cerah pada masa depan. Dapat diramalkan, sekolah swasta akan gulung tikar. Ini merupakan lonceng kematian sekolah swasta.

Dampak

Banyak sekolah swasta—Taman Siswa, Muhammadiyah, sekolah NU, sekolah swasta Islam lain, sekolah Katolik maupun sekolah Kristen—akan terkubur. Ada yang bertahan hidup, tetapi ibarat kerakap di atas batu. Mereka akan sulit mempertahankan mutu karena dana untuk proses belajar-mengajar (PBM) dan pelatihan guru drastis berkurang.

Padahal, sekolah-sekolah ini amat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pencerdasan bangsa. Di seluruh Indonesia sekolah swasta umumnya lebih bermutu daripada sekolah negeri. Data nilai evaluasi murni UN menunjukkan kenyataan ini. Jika sekolah swasta hilang dari peredaran, bangsa ini akan ”kehilangan” besar.

Yayasan sekolah swasta yang besar berkiprah tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di pedesaan, bahkan di wilayah terpencil. Untuk bertahan hidup, digunakan subsidi silang. Kebijakan diskriminatif pemerintah akan berakibat tewasnya sekolah di kota. Selanjutnya sekolah di pedesaan akan ditutup. Mengapa pemerintah memilih menaikkan gaji guru PNS saja? Jika sekolah swasta di pedesaan ditutup, angka partisipasi anak usia wajib belajar pasti menurun. Karena itu, DPR hendaknya mempertimbangkan dampak ini dalam membahas alokasi dana tambahan ini.

Negara lain

Perkembangan di dunia menunjukkan gejala yang mirip. Pemerintah Inggris membangun sekolah negeri, tetapi juga tetap mempertahankan sekolah swasta yang berciri khas. Dana pendidikan termasuk gaji guru tidak dibedakan. Gejala ini juga terjadi di Malaysia dan Barat. Sekolah swasta umumnya tetap mempertahankan ciri khas meski hampir seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah.

Di Malaysia hampir 50 tahun pemerintah berusaha menghapus sekolah swasta China, Tamil, dan Islam, tetapi sekolah-sekolah itu tetap bertahan hidup. PM Mahathir Mohamad bahkan secara khusus berusaha menghapus sekolah swasta Islam yang disebut sekolah agama rakyat (SAR), tetapi tak berhasil. Untuk sekolah swasta China, Tamil, dan Islam yang independen, pemerintah memberi subsidi sarana dan gaji guru.

Dulu Presiden Soeharto pernah berkata kepada Gubernur NTT Ben Mboy. ”Sekolah negeri dan swasta memang masih dibedakan. Namun, pada masa depan jika pemerintah sudah mampu, tidak akan dibedakan. Dana untuk pembangunan gedung, sarana, dan gaji guru sekolah swasta ditanggung pemerintah.”

Saat itu, perbedaan sekolah negeri dan swasta hanya pada papan nama sekolah. Kini tiba saatnya pemerintah mengakhiri tindak diskriminatif terhadap sekolah swasta saat 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan.

Argumen

Argumen yang mendasari usul ini adalah, pertama, uang negara, yakni uang rakyat yang juga berasal dari pajak rakyat. Karena itu, perlakuan pemerintah harus sama. Sekolah swasta juga mendidik anak bangsa.

Kedua, sekolah negeri menunjukkan ciri pengelolaan seperti lembaga pemerintah. Kurang efisien, tak bersemangat wirausaha, dan kurang motivasi meningkatkan mutu. Adapun sekolah swasta memiliki elan vital mewujudkan visi dan misi khas serta bergantung kepercayaan masyarakat. Lebih inovatif karena didorong nilai tambah yang ditawarkan untuk meningkatkan nilai jual. Penerapan asas subsidi silang menjamin kelangsungan hidup sekolah di pedesaan. Sekolah dikelola seperti bisnis. Prinsip efisiensi konsisten dilaksanakan.

Ketiga, di suatu negara selalu ada kelompok masyarakat yang berjuang mewariskan nilai-nilai khas budaya, etnis, agama, dan ideologi. Upaya pemerintah menghapus sekolah swasta cenderung tak berhasil. Hal ini juga terlihat di AS. Sekolah swasta Kristen tetap hidup sejak akhir abad ke-19 hingga kini meski pemerintah selalu berusaha menghapus. Mutunya lebih baik dan penggunaan dana tetap efisien. Gejala ini juga terlihat di Indonesia. Di berbagai daerah, mutu sekolah swasta cenderung lebih unggul. Sekolah negeri yang bermutu umumnya hanya satu-dua di kota besar. Tibalah saatnya pemerintah menggunakan bisikan nurani dalam mengambil kebijakan pendidikan.

S BELEN Pemerhati Pendidikan Read More..

Opini Kompas tentang Pendidikan, September 2008

"Nasionalnya" Pendidikan Kita
Rabu, 24 September 2008 | 00:22 WIB

Agus Suwignyo

Tulisan mantan Mendikbud Daoed Joesoef tentang pentingnya perumusan kembali ”konsep idiil yang mendasari” sistem pendidikan kita (Kompas, 3/9/2008), disambut takzim fisikawan-etikawan Liek Wilardjo dengan menyebutnya ”wejangan Resi Seta yang turun dari pertapaan Pareanom” (Kompas, 11/9/2008).

Pak Daoed menegaskan, ”Dengan predikat nasional, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan).” Pak Liek menyahut, ”Sudah saatnya kita mempunyai konsep pendidikan nasional yang jelas”.

”Percakapan” dua begawan itu layak dikembangkan karena menyegarkan pemikiran ke arah pembaruan konstruksi nasional pendidikan Indonesia.

Setidaknya selama sepuluh tahun terakhir, kita terjebak hiruk-pikuk—meminjam istilah pedagog senior Mochtar Buchori—aneka persoalan ”hilir” dan mengabaikan aneka pemikiran dasar yang memberi arah kebijakan dan praktik pendidikan nasional.

Ambil contoh, perkara ujian nasional, buku pelajaran, dan sertifikasi guru dikaji dalam bingkai kritik ketidaksigapan pemerintah merespons permasalahan terkini. Namun, kajian sering terisolasi dari konteks makro arah pendidikan. Sejauh mana silang pendapat tentang perkara itu mencerminkan relevansi dan makna ”kenasionalan” sistem pendidikan kita masih relatif kabur.

Akibatnya, upaya menyelesaikan persoalan-lapangan praktik pendidikan tidak menyentuh akar masalah. Perkara UN, misalnya, justru kian rumit (dan ruwet) akibat terlepasnya substansi kontroversi dari tolok ukur ”kenasionalan” sistem pendidikan. Di sisi lain, proses pendidikan (kian) dikeluhkan menciptakan beban sosial—alih-alih kekuatan transformatif masyarakat.

Trisila imperatif

Hal amat krusial yang seharusnya dijiwai—tetapi nyata-nyata telah diabaikan—dalam perumusan kebijakan dan praktik pendidikan kita adalah prinsip-prinsip yang mendasari dan memberi karakter ”nasional”-nya sistem pendidikan. Secara historis, prinsip-prinsip itu mencakup pemerataan, integrasi, dan kemandirian.

Sejak SD kita tahu, gagasan pemerataan sebagai prinsip pendidikan Indonesia merupakan reaksi langsung terhadap sistem pendidikan kolonial yang segregatif dan diskriminatif.

Tokoh-tokoh, seperti Dwidjo Sewojo, RA Kartini, KH Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Moh Sjafei, Moh Yamin, dan Moh Hatta, berjuang demi sistem pendidikan nasional yang merengkuh warga negara tanpa pembedaan kelas. Proklamasi Kemerdekaan melahirkan kesamaan hak warga atas pendidikan melalui jaminan konstitusi.

Meskipun demikian, dalam konteks kemerdekaan, pemerataan pendidikan bukan semata-mata perkara hak warga yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara.

Khusus untuk konteks Indonesia, pemerataan bersifat imperatif demi terbentuknya sikap individu-individu sebagai kesatuan warga dalam wadah negara.

Dengan makna itu, pemerataan pendidikan merupakan medium terwujudnya integrasi keindonesiaan.

Artinya, ketika prinsip pemerataan pendidikan diabaikan, yang terjadi bukan hanya pelanggaran hak warga, tetapi juga ancaman terhadap integrasi kebangsaan kita.

Karena itu, evaluasi atas berbagai kebijakan strategis, seperti UN, tidak cukup ditempatkan dalam bingkai isu-isu implementasi kebijakan, misalnya menyangkut keadilan sosial dan tanggung jawab pemerintah. Evaluasi harus menyentuh peran dan kepentingan negara dalam berbagai kebijakan strategis pendidikan.

Kemandirian

Selain pemerataan dan integrasi, fondasi filsafati penting dari ”nasionalnya” sistem pendidikan kita adalah kemandirian. Penekanan pada kemandirian amat jelas dalam pemikiran tokoh-tokoh pendidikan yang telah disebut.

Demi prinsip kemandirian, misalnya, KH Dewantara menolak bantuan keuangan pemerintah bagi Perguruan Taman Siswa. Begitu pun KH Ahmad Dahlan dan Moh Sjafei bersikap selektif terhadap tawaran bantuan kolonial.

Dalam konteks berbeda pada periode kontemporer, YB Mangunwijaya pernah mengharuskan anak-anak jalanan membayar (meski hanya Rp 25) jika meminjam buku perpustakaan Kali Code karena konsep gratisan dianggapnya menghambat kemandirian dan sense of belonging anak-anak itu.

Contoh-contoh itu menegaskan, kemandirian merupakan elemen krusial harga diri (dignity). Implikasi politisnya, selain mengemban misi memerdekakan cara berpikir dan jiwa anak-anak bangsa (misi mikro), penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab pemerintah juga harus memancing seluas mungkin partisipasi masyarakat (misi makro).

Secara khusus dalam konteks anggaran, skema alokasi dana pendidikan pada APBN 2009 harus jitu dan akomodatif agar merangsang investasi lebih besar pemerintah daerah dan pihak-pihak swasta dalam penyelenggaraan pendidikan.

Hanya dengan kesadaran bahwa pendidikan sebagai hak warga bukanlah sesuatu yang terberi dan taken for granted, tetapi harus diusahakan bersama, kita terbebas dari kekangan paradigma filantropi yang diusung para penggagas Politik Etis 100 tahun lalu.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM; Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru Read More..

Kompas seotember 2008

Mutu Pendidik
Rp 1,2 Triliun untuk Pelatihan
Rabu, 24 September 2008 | 00:32 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan dan pelatihan sebesar Rp 1,2 triliun pada tahun 2009 dengan fokus peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pengawas.

”Pendidikan dan pelatihan atau diklat untuk para guru itu bukan sekadar seminar, tapi benar-benar untuk mendorong inovasi dan kreativitas pembelajaran di kelas,” kata Sumarna Surapranata, Direktur Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Selasa (23/9).

Menurut Sumarna, pendidikan dan latihan untuk guru SD, SMP, dan SMA/SMK dilakukan dengan memperkuat kembali peran dan fungsi kelompok kerja guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

Agar penjaminan mutu diklat terjaga, pemerintah menyiapkan modul dan standar sebagai pegangan dalam melaksanakan berbagai program peningkatan kompetensi pendidik.

”Kesempatan mengikuti diklat harus terbuka untuk semua guru. Termasuk juga guru di daerah terpencil,” kata Sumarna.

Daerah terpencil

Untuk guru di daerah terpencil, alokasi dana pelatihan hampir Rp 500 miliar. Dana itu, antara lain, didistribusikan untuk kegiatan di 19.000 KKG di 199 daerah yang ditetapkan sebagai daerah terpencil.

Eni Prihatini, guru Matematika di SDN 2 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, mengatakan, KKG yang mewadahi guru-guru menjadi andalan untuk bisa saling bertukar informasi soal metode pembelajaran.

Maruli Taufik, Ketua Perkumpulan Guru Karyawan Swasta Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, kesempatan diklat bagi pendidik umumnya diberikan kepada guru pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan guru swasta kecil masih terpinggirkan. (ELN) Read More..

Tuesday, September 23, 2008

Jurnal 20-23 September 2008

Senin 22 September 2008

Revisi draft Rencana Anggaran Belanja DPP FGII berhasil disusun. Beberapa penyesuaian dilaksanakan untuk mengantisipasi rencana tindaklanjut yang sudah disusun dan dibahas pada pertemuan rutin DPP FGII di Jakarta Jum'at 19 September 2008.

Penulisan Anggaran Dasar hasil kongres III di Makasar pun berhasil diedit, terutama mengganti istilah DPW menjadi DPD. Tidak ada perubahan isi AD. ART masih terus disempurnakan agar cukup memadai untuk diajukan sebagai draft kepada DPP yang akan mengikuti Rapat DPP di Yogya bulan November yad.

Advokasi hak-hak guru swasta terus dilaksanakan seiring dengan menguatnya kesadaran masyarakat untuk mendorong pemerintah sampai di tingkat satuan pendidikan dapat menyediakan pendidikan tanpa dipungut biaya apapun. Beberapa kutipan dari Kompas cetak dan kompas.com menunjukkan konsistensi FGII untuk memberikan perlindungan bagi pekerja profesi guru sebagai upaya untuk mendorong pemenuhan hak anak atas pendidikan.

Ketua Umum DPP FGII mengikuti peluncuran buku, "Utang dan Korupsi : Racun Pendidikan", karya Darmaningtyas. Pada peluncuran buku tersebut, pemilik cafe Domus berkenan menyediakan tempat diskusi rutin setiap hari Minggu untuk FGII. Rencananya akan dimanfaatkan untuk pendidikan anggota FGII sesuai dengan outline rencana pendidikan anggota yang disusun dalam RTL sebelumnya.

Masih ada beberapa agenda sebelum libur Idul Fitry:
1. Surat pengajuan audiensi ke Kejagung, Depdiknas terkait PP 48 tahun 2008
2. Surat pengajuan audiensi ke Dephukum dan HAm serta mensesneg untuk mengawal RPP Guru yang tidak diskriminatif
3. Penyusunan ART, Silabus, workshop management union and financial administration
4. TOR peringatan Hari Guru sedunia
5. Penyusunan kelengkapan afiliasi ke PSI
6. Pengiriman surat undangan rapat DPP, pembentukan Koperasi dan workshop ke seluruh DPP, DPD dan DPC
7. Advokasi guru swasta : SP LIATA Rabu, 24 September 2008
8. Penyusunan renstra KPB di UNOCHA Rabu, 24 September 2008 Read More..

Kompas September 2008

Implementasi Aturan Membingungkan Sekolah
Selasa, 23 September 2008 | 00:39 WIB

Bandung, Kompas - Kepala sekolah dan guru di Kota Bandung saat ini merasa bingung dan cemas mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Belum lagi adanya pemanggilan dari Kejaksaan Tinggi. Mereka saat ini sangat membutuhkan arahan dan penjelasan tentang solusi menggali dana pendidikan.
Kebingungan dan kecemasan ini terlihat dari serangkaian pemantauan di sejumlah sekolah tingkat dasar, Senin (22/9). Meski masih muncul ragam penafsiran tentang aturan ini, sekolah memilih ”jalan aman” tidak melakukan pungutan iuran sekolah sementara waktu ini sampai munculnya petunjuk teknis tentang aturan ini.
”Aturan ini kan masih membingungkan. Apakah akan dilaksanakan sekarang atau pada 2009. Tidak ada sosialisasi dan penjelasan pasti tentang ini,” tutur Kepala SDN Merdeka V-III Apandi. Ia pun bingung apakah bisa menjalankan anggaran sekolah tahun ajaran 2008/2009 yang telah disusun atau harus mengubahnya dan menyesuaikan dengan PP No 48/2008. ”Takutnya kami juga yang ujung-ujungnya nanti disalahkan,” ujarnya.
Pemanggilan dari Kejaksaan Tinggi adalah hal yang ditakutkan oleh sejumlah kepala sekolah. Beberapa kepala sekolah sebelumnya telah diingatkan Kejaksaan Tinggi agar tidak melakukan pungutan dana kepada masyarakat, khususnya untuk alokasi insentif guru.

Kehilangan insentif

Titin, guru SDN Banjarsari, Kota Bandung, terancam kehilangan insentif bulanan Rp 400.000-Rp 500.000 per bulan jika ketentuan PP 48/2008 diimplementasikan. Namun, hal ini dapat diterimanya sebagai sebuah konsekuensi aturan.
Menurut Achmad Taufan, guru SDN Merdeka yang juga Ketua I Forum Aspirasi Guru Independen Kota Bandung, langkah pemanggilan terhadap kepala sekolah menunjukkan adanya perbedaan persepsi di dalam memahami aturan tentang pungutan dana dari masyarakat.
”Makanya, kami merekomendasikan agar ada pengkajian bersama. Semua pihak, termasuk Kejaksaan, harus duduk bersama menyikapi ketentuan pendanaan pendidikan,” tutur Taufan.
Rekomendasi ini merupakan hasil focus group discussion yang digelar sejumlah pihak yang berkaitan dengan pendidikan di Kota Bandung.
Wakil Education Forum Yanti Sriyulianti mengungkapkan, pemerintah harus murni dan konsekuen menjalankan amanat konstitusi, yakni memenuhi hak atas pendidikan yang bebas biaya dan bermutu. Untuk meningkatkan mutu tersebut terkait erat dengan guru yang sejahtera.
Ia sendiri melihat terdapat ketidakkonsistenan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Dalam peraturan pemerintah tersebut, pemerintah sangat ketat mengatur tentang wajib belajar bebas biaya. Akan tetapi, di PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan terdapat pasal yang menyebutkan pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
”Ini kembali melegalkan pungutan. Bahkan, Pasal 51 PP 48 benar-benar resmi mengatur pungutan. Ini terjadi inkonsitensi,” ujarnya. (JON/INE)

Dana Pendidikan Multitafsir
Pemerintah Perlu Tegas soal Sumbangan
Senin, 22 September 2008 | 00:41 WIB


Jakarta, Kompas - Pemanggilan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat terhadap sejumlah kepala sekolah di Bandung menunjukkan adanya multitafsir terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Oleh karena itu, persoalan beda persepsi terhadap peraturan ini harus segera diluruskan.
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan, Minggu (21/9), mengatakan, perlu sosialisasi dan penyatuan pemahaman tentang materi Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan PP No 47/2008 tentang Wajib Belajar.
Menurutnya, aturan ini multitafsir. Di satu sisi disebutkan pendidikan di tingkat dasar wajib tidak memungut biaya. Namun, masih di aturan yang sama, Pasal 51 dan 52, masih dimungkinkan adanya pungutan.
”Saya yakin, guru-guru pun masih kebingungan tentang aturan ini,” tuturnya. ”Jangan sampai akibat salah langkah, guru dan kepala sekolah terkena kasus hukum,” katanya menambahkan.
Koordinator Education Forum, Muhammad Abduh, mengatakan, semua pihak perlu menyatukan paham tentang pendidikan dasar gratis. Perlu ditegaskan soal sumbangan dana dari masyarakat untuk operasionalisasi pendidikan dasar. Termasuk komponen insentif guru.
”Agar kesejahteraan guru tidak terabaikan, insentif itu semestinya didanai dari APBD,” ujarnya. Ia mencontohkan kasus Kabupaten Tegal yang sukses melakukan kebijakan ini.
Ia menyesalkan sikap sekolah yang praktiknya mencoba menyamarkan pungutan ini melalui mekanisme sumbangan.
Sejahterakan guru
Secara terpisah, Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, di Jakarta, mengatakan, semua pihak harus mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar memerhatikan dan meningkatkan kesejahteraan guru.
”Hak guru ada di dalam anggaran negara, bukan di orangtua. Guru dan orangtua itu sama- sama korban dari kebijakan dan harus bersatu memperbaiki keadaan,” ujar Ade.
Ade mengatakan, untuk guru berstatus pegawai negeri seharusnya tidak boleh ada penerimaan lain dari masyarakat karena perannya sebagai pelayan publik dan telah digaji negara. Peningkatan kesejahteraan berasal dari pemerintah.
Untuk itu, guru perlu ikut mengkritisi anggaran pendidikan termasuk anggaran kesejahteraan guru dalam APBN serta APBD. ” Mereka harus memperjuangkan haknya dan tidak boleh alergi dengan proses penganggaran,” kata Ade.
Menurutnya, di sejumlah daerah sebetulnya telah ada kesadaran untuk memberikan tunjangan tambahan guru, seperti Kabupaten Tangerang dengan besaran sekitar Rp 400.000 per bulan per guru dan di DKI Jakarta sekitar Rp 2 juta per bulan. ”Sayangnya, tidak semua daerah sadar untuk memberikan tambahan tersebut,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman mengatakan, pemanggilan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat terhadap sejumlah kepala sekolah dapat menjadi peringatan agar berhati-hati dalam melakukan pungutan. Namun, menurut dia, perlu ketegasan dari pemerintah agar sekolah tidak kebingungan.
”Persoalannya, pemberian insentif itu selama ini dipandang sebagai kelaziman dan bukan pelanggaran,” ujarnya. (JON/INE)

Bantuan Pendidikan
Pencairan BOS Buku Tahun Ini Belum Pasti
Laporan Wartawan Kompas Yulvianus Harjono

BANDUNG, KOMPAS--Hingga saat ini, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat belum juga mendapat kepastian waktu maupun alokasi pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS buku dari pemerintah pusat. Kelambatan pencairan ini praktis mengundang kritik mengenai efektivitas pemanfaatan BOS buku.
”Kami belum dapat informasi mengenai kepastian pencairannya untuk tahun ini. Mungkin, baru akhir September nanti bisa dipastikan. Soalnya, masih ada sejumlah revisi di pusat. Saya sendiri tidak yakin kalau akan dicairkan tahun ini. Yang bisa dipastikan, untuk tahun anggaran 2007/2008 mendatang,” ujar Kepala Sub Dinas Pendidikan Dasar Menengah Disdik Provinsi Jabar Bambang Sutrisno, Rabu (6/9).
Berdasarkan hasil rapat koordinasi terakhir di Jakarta, tambah Bambang, diperoleh informasi bahwa keputusan selanjutnya ada pada Menteri Keuangan RI. Sebabnya, ini terkait adanya revisi anggaran senilai Rp 800 miliar yang diajukan Departemen Pendidikan Nasional.
Alokasi bantuan pembelian buku ajar senilai Rp 20.000 per siswa (wajib belajar) ini diputuskan untuk dibagi merata ke 33 Provinsi. Jadi, tidak lagi hanya 12 provinsi yang nilai ujian nasional-nya jeblok.
Seperti BOS pada umumnya, dana ini akan disalurkan pemerintah pusat ke masing-masing dinas pendidikan di tingkat provinsi. Selanjutnya, dana ini akan diteruskan ke rekening tiap-tiap sekolah yang berhak.
Pemanfaatannya, wajib untuk pembelian buku-buku ajar yang telah direkomendasikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Jendral Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Dwi Subawanto mengaku kecewa terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Selain keterlambatan, yang sangat disesalkan adalah minimnya besaran bantuan. Kebijakan tambal sulam ini dianggapnya tidak akan efektif mengatasi persoalan penyediaan buku yang kerap datang di tahun ajaran baru.
”Dana Rp 20.000 tidak akan terlalu berpengaruh bagi siswa. Bayangkan, rata-rata kebutuhan siswa untuk buku per tahunnya saja mencapai Rp 800.000. Harga LKS (lembar kerja siswa) per buahnya saja Rp 7.500. Sangat sedikit buku ajar yang berada di bawah harga Rp 20.000. Lebih baik, pemanfaatannya dikolektifkan dengan menyerahkannya ke perpustakaan. Sehingga, bisa lebih terakses siswa yang kurang mampu,” ujarnya.
Senada dengan Dwi Subawanto, Sekretaris Jendral Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan berpendapat, dana tersebut alangkah baiknya jika dirubah pemanfaatannya menjadi bantuan pengadaan buku ajar di sekolah. Jadi, pengelolaannya dilimpahkan ke sekolah.
”Bantuan itu jumlahnya sangat kecil. Bukankah lebih baik jika buku itu dimanfaatkan secara kolektif, sebagai bahan koleksi perpustakaan. Tetapi, wajib berupa buku ajar yang bisa dibawa pulang dan diprioritaskan bagi siswa kurang mampu. Sehingga, buku ini jadi bisa terus dimanfaatkan ke siswa-siswa berikutnya,” ucapnya menambahkan.



FGII Desak Kepastian Kepala Disdik Kota Bandung

BANDUNG, KOMPAS – Forum Guru Independen Indonesia mendesak pihak terkait khususnya Pemerintah Kota Bandung segera memastikan dan melantik calon Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung terpilih. Akibat kekosongaan jabatan Kepala Disdik Kota Bandung selama ini, regulasi pendidikan yang dianggap strategis menjadi terhambat khususnya mengenai periodesasi kepala sekolah.
”Kami khawatir, pengangkatan Kadisdik ini dipengaruhi unsur politis. Salah satu gejala terlihat, kepastiannya makan waktu lama. Yang jadi persoalan kemudian, kekosongan jabatan ini kan mengakibatkan regulasi pendidikan di Kota Bandung terhambat. Ini terlihat dari sejumlah kasus pendidikan yang muncul,” ujar Sekretaris Jendral FGII Iwan Hermawan, Senin (4/9).
Keberadaan pelaksana tugas harian, ungkap Iwan, dinilai tidak akan mampu secara maksimal mengurusi persoalan eksternal khususnya dalam hal regulasi. Sebabnya, Plt sehari-hari disibukkan untuk mengurusi persoalan internal, misalnya manajemen kelembagaan. ”Bagaimanapun, regulasi yang sifatnya strategis lebih optimal jika dihasilkan dari pejabat yang definitif,” ucapnya menambahkan.
Macetnya regulasi strategis di bidang pendidikan Kota Bandung antara lain terindikasi dari sejumlah kasus atau persoalan yang muncul akhir-akhir ini. Beberapa di antaranya, yaitu kasus pungutan dana talangan kejar paket dan penjualan buku oleh sejumlah sekolah seperti yang dilaporkan oleh Forum Orangtua Siswa (Fortusis). Meski temuan tersebut telah berlangsung hampir sebulan, tidak terlihat adanya kebijakan tegas berupa sanksi maupun pelaporan hasil investigasi.
Terbengkalai
Menurut Iwan, persoalan strategis lain yang terbengkalai akibat kekosongan jabatan Kepala Disdik tersebut adalah periodesasi kepala sekolah. Terhitung akhir Mei 2006 lalu, sekitar 70 persen kepala SMA dan SMP negeri se-Kota Bandung saat ini diketahui habis masa (periode) kerjanya. Namun, hingga kini belum terlihat tanda-tanda muncul regulasi perombakan kepala sekolah dari dinas.
”Periodesasi terakhir kan dilakukan pada bulan Mei 2002. Mengacu pada Perda Kota Bandung, jabatan ini kan semestinya berakhir pada Mei 2006 kemarin. Padahal, Edi Siswadi (Kepala Disdik Kota Bandung sebelumnya) sebelumnya berjanji akan melaporkan periodesasi pada Agustus 2006. Sementara, bulan September sudah akan ada mutasi,” ungkap Iwan menjelaskan.
Mengacu pada ketentuan pengangkatan kepala sekolah, hanya personal yang dinilai berprestasi yang berhak mendapat perpanjangan masa jabatan setahun. Sebaliknya, mereka yang dinilai tidak berprestasi terpaksa dicopot dengan hanya menyandang jabatan fungsional selaku guru pengajar. Periodesasi kepala sekolah ini dinilai sangat urgen dan relevan dalam mengoptimalisasikan kinerja sekolah, khususnya efisiensi anggaran.
Sementara itu, dari bagian admisistrasi Sekretaris Daerah Kota Bandung dilaporkan, Pemkot Bandung hingga saat ini belum mendapat tembusan hasil pemilihan calon Kepala Disdik Kota Bandung. Sebelumnya, Wali Kota Bandung Dada Rosada mengajukan tiga nama calon Kadisdik pengganti untuk diusulkan kepada Gubernur Jawa Barat. Dada Rosada hanya bersedia membocorkan salah satu nama calon yang diusulkan, yaitu Wakil Kepala Disdik Kota Bandung, Oji Mahroji yang kini menjabat Plt. (JON) Read More..

Sunday, September 21, 2008

DPP FGII's action plan



FGII DPP is committed to follow up the Financial Administration Workshop which was held at Hotel Santika 15-19 September 2008 by the Public Service International plans to follow up the following:
DPP FGII
1. Entering into the design of ART:
a. the determination of member contribution of Rp 2.000/bulan
b. financial and administrative system which is transparent and responsible
c. Financial balance DPP: DPD = 1000: 1000
d. Funds for Rp 1.000/bulan DPD will be entered into eternal fund established to DPD
e. Dpc / FGII organ can set the contribution of members independently based budget plan and spending activities each year dpc
2. Organizing a workshop management and financial administration FGII for the establishment of the DPP and the DPP meeting in the Cooperative in Yogyakarta in November 2008
3. Conducting the meeting set for the DPP and the ART program
4. Encourage the DPD to hold a workshop management and financial administration for FGII dpc
5. Encouraging dpc to hold a workshop management and financial administration for FGII Member
6. Increasing the participation of the DPP stay in Jakarta in regular meetings every Friday DPP
7. Conducting education for members: piloting SGJ to members in the Greater Jakarta:
a. Basic Education 1
i. why should unite in FGII
ii. the role of trade unions and the role of members FGII
iii. activation mechanism of complaints in the post dpc
b. Primary education 2
i. Management organization SP FGII
ii. Financial administration SP FGII
iii. leadership
iv. negotiations and lobbying
v. basic rights-based advocacy and gender equality berperspektif
vi. basic advocacy of Law Teachers and Lecturers and Labor Law
c. Continuing Education
i. Technical writing position papers
ii. Technical writing legal draft
iii. The preparation of the strategic plan
iv. Development finance: how to create a household budget of 3 years, every year there is a review of household budget
d. Analysis of financial
e. Advocacy
f. Facilitator training for education
G. Political Education
8. FGII publishing journals continue to build solidarity
9. Fund-lasting

Rekomendasi untuk PSI :
of the workshop's nagement and financial administration for all of PSI affiliation and FGII (prospective affiliates) in Menado
2. Affiliates receive FGII Read More..

Consolidation of DPD FGII West Java : 13-15 Sept 2008




Strengthening the DPD Jabar conducted simultaneously with fortunetellers advocacy non-civil servants, teachers. In every opportunity DPP Chairman of the General FGII continue menyosialisasikan advocacy to encourage governments to provide the functional benefits of UMP / UMK Jamsostek for teachers and non-income civil servants under the UMP / UMK. For it is prepared judicialreview Law Teachers and Lecturers related articles that discriminate non-civil servants, teachers of this. Read More..

Friday, September 19, 2008

http://www.radartimika.com

Jumat, 12/09/2008 04:56 (GMT+9.5)
Gaji Guru Besertifikat Rp6,9 Juta

JAKARTA - Mulai tahun depan, tenaga pendidik benar-benar menjadi anak emas. Berkat lonjakan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2009, kesejahteraan guru semakin meningkat.Misalnya, untuk guru PNS golongan II/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun, bakal memperoleh gaji minimal Rp 2 juta.

"Itu untuk menunjukkan komitmen kami terhadap penggunaan anggaran yang besar tersebut," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo setelah rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Rabu, 10 September.

Dia menambahkan, untuk gaji guru PNS golongan IV/E besertifikat profesi, bisa mencapai Rp 6,9 juta. Gaji tersebut, lanjutnya, belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan profesi untuk guru dengan sertifikat. Pemerintah, juga memberikan tunjangan fungsional untuk guru tetap non-PNS yang belum sarjana Rp 250 ribu per bulan dan sarjana minimal Rp 300 ribu per bulan.

----------------

Jika sebelumnya guru daerah terpencil yang besertifikat digaji Rp 2,29 juta pada 2008, tahun depan jumlahnya naik menjadi Rp 5,1 juta.

------------------------



Pendapatan 30 ribu guru daerah terpencil juga akan ditingkatkan. Jika sebelumnya guru daerah terpencil yang besertifikat digaji Rp 2,29 juta pada 2008, tahun depan jumlahnya naik menjadi Rp 5,1 juta. Sementara guru daerah terpencil yang belum besertifikat yang sebelumnya mendapatkan Rp 2,29 juta, bakal ditambah menjadi Rp 3,6 juta tahun depan.

Bukan hanya guru, gaji dosen juga meningkat seiring naiknya anggaran pendidikan. Jika sebelumnya dosen pegawai negeri sipil golongan III/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun mendapat Rp 1,8 juta, tahun depan angkanya bertambah menjadi Rp 2,26 juta.

Untuk guru besar yang berstatus PNS golongan IV/E besertifikat gajinya naik tajam dari Rp 5,1 juta menjadi Rp 13,5 juta. "Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, kata Mendiknas, menempati porsi 27 persen dari anggaran pendidikan," sebutnya.

Kenaikan anggaran pendidikan yang menjadi Rp 224,4 triliun pada RAPBN 2009 juga dimanfaatkan untuk percepatan penuntasan wajib belajar dari tingkat dasar hingga sekolah menengah. Menurut Mendiknas, anggaran pendidikan nanti akan terserap lebih dari 50 persen untuk program wajib belajar.

"Kami gunakan anggaran untuk pendidikan menengah di Depdiknas maupun di Depag. Anggaran untuk pendidikan tinggi juga dinaikkan. Pendidikan non-formal juga kita naikkan, tapi tidak banyak," tegasnya.

Kenaikan anggaran pendidikan, digunakan pula untuk peningkatan kesejahteraan peneliti dan perekayasa di luar Depdiknas. Depdiknas menyiapkan anggaran bagi peneliti non-PNS melalui skema yang diatur oleh Ditjen Pendidikan Tinggi.

Fungsi-fungsi pendidikan kedinasan yang dilakukan departemen lain, seperti IPDN di Depdagri dan STAN di Depkeu tidak boleh memakai anggaran pendidikan karena tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). "Anggaran itu tidak digunakan untuk lembaga pendidikan yang tidak dinaungi UU Sisdiknas," tegasnya.

Ke depan, segera dibuat peraturan pemerintah (PP) tentang pendidikan kedinasan untuk mengatur peralihan penyelenggaraan pendidikan agar tunduk sepenuhnya pada UU Sisdiknas. (zul/oki) Read More..

http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id

Pemkot Belum Putuskan Implementasi PP 48
Pemanggilan Sejumlah Kepala SMPN oleh Kejati Dipertanyakan

KEPALA Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji (kedua kiri) didampingi anggota Komisi D DPRD Kota Bandung Kusmeni S. Hartadi (ketiga kiri) dan Ahmad Nugraha (kedua kanan), serta Wakapolwiltabes Bandung M. Iswandi Hari (ketiga kanan) saat menjawab pertanyaan dari Koalisi Guru Bersatu (KGB) Kota Bandung pada audiensi di Ruang Rapat Paripurna DPRD Kota Bandung Jln. Aceh Kota Bandung, Selasa (9/9). KGB menuntut pemerintah segera memenuhi penghasilan kebutuhan minimum pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan UU No. 14 tahun 2005 pasal 14 poin a.*USEP USMAN NASRULLOH

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah Kota Bandung belum bisa memutuskan implementasi Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Pembahasan implementasi PP tersebut harus melibatkan semua pemangku kepentingan, pemerintah pusat, terutama Departemen Pendidikan Nasional. Hal itu terangkum dalam pertemuan antara Dinas Pendidikan Kota Bandung, PGRI Kota Bandung, Koalisi Guru Bersatu (KGB), Inspektorat Kota Bandung, dan Polwiltabes Bandung.

Pertemuan difasilitasi Komisi D DPRD Kota Bandung di Ruang Rapat Paripurna DPRD, Selasa (9/9). Dalam pertemuan yang diikuti 70 guru dan kepala sekolah itu, ada dua pendapat yang mengkristal terkait waktu implementasi PP No. 48/2008.

Pendapat pertama menyebutkan, agar kepala sekolah tetap melaksanakan anggaran dan pendapatan belanja sekolah (APBS) yang sudah ditetapkan pada Juli 2008 hingga ada kepastian pemberlakuan PP No. 48/2008. "Untuk sementara, inspektorat mengacu pada APBS yang sudah ditetapkan sampai ada pemberlakuan PP secara formal. Alasannya, ada pasal peralihan di PP tersebut yang menyebutkan pemberlakuan paling lama satu tahun," ujar Sekretaris Inspektorat Kota Bandung, Fajar Kurniawan.

Pendapat kedua dikemukakan Kepala Disdik Kota Bandung, Oji Mahroji. Menurut dia, PP No. 48/2008 berlaku sejak tanggal diundangkan pada 4 Juli 2008. Artinya, pendanaan pendidikan harus sudah mulai dijalankan sesuai amanat PP tersebut, yakni melarang pemungutan untuk insentif guru/kepala sekolah. "Namun realitas di lapangan belum memungkinkan pengimplementasian PP itu," kata Oji

PP tersebut menuai kontroversi karena berdasarkan interpretasi Disdik Kota Bandung, PP itu melarang penggunaan dana masyarakat untuk insentif guru. Selama ini, para guru menerima dana insentif dari masyarakat Rp 50.000,00 - Rp 300.000,00/bulan. "Kami tidak menolak PP 47 dan PP 48. Tapi tolong, pemerintah memberikan kesejahteraan pada guru," ujar Sekretaris PGRI Kota Bandung, Maman Sulaeman.

Untuk memperoleh kejelasan implementasi PP No. 48/2008, Oji bersama perwakilan Komisi D DPRD Kota Bandung akan melakukan pertemuan dengan DPR RI . "Kajian yang melibatkan sejumlah pakar pun akan dirancang," kata anggota Komisi D, Kusmeni S. Hartadi.

Pemanggilan

Ketua Komite SMPN 13 Bandung D. Gandana mempertanyakan perihal pemanggilan sejumlah kepala SMPN kluster pertama serta komite sekolah ke Kejaksaan Tinggi Jabar dalam beberapa hari ini. Dalam surat edaran yang dikeluarkan Disdik Kota Bandung, dinyatakan perihal pemanggilan menyangkut pemeriksaan seputar dugaan penyimpangan proses penerimaan siswa baru.

"Namun selama enam jam pemeriksaan, tidak sedikit pun dibahas mengenai penyimpangan PSB, melainkan anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Selain itu, di akhir pemeriksaan kepala sekolah dimintai tanda tangannya untuk setuju tidak memungut dana sumbangan dari masyarakat," katanya. Gandana menambahkan, SMPN 13 Bandung memenuhi panggilan Kejati pada Senin (8/9).

Menanggapi hal tersebut, Oji mengatakan, Disdik hanya memiliki kapasitas memberikan edaran kepada sekolah-sekolah. Mengenai pemanggilan, termasuk jumlah sekolah untuk menjalani pemeriksaan, itu merupakan kewenangan Kejati. (A-156/CA-184)***
Penulis:
Back Read More..

http://stembasurabaya.wordpress.com/2008/01/12

Tunjangan Profesi Ribuan Guru Tak Terbayar 2008 Januari 12, 2008
Posted by fajarwisnu in Sertifikasi Guru.
trackback

SURABAYA - Tunjangan profesi ribuan guru di Jatim yang lulus sertifikasi kouta 2006 dan 2007 diperkirakan belum akan terbayar pada 2008 ini. Ini menyusul kemungkinan berbedanya jumlah guru yang lulus sertifikasi dengan yang akan diberi tunjangan profesi. Data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Jatim menyebutkan, dana APBN yang dititipkan ke provinsi untuk membayar tunjangan profesi sebesar Rp 1,8 juta per bulan hanya diperuntukkan 15.700 guru saja. Padahal pada sertifikasi kuota 2006 dan 2007, guru yang lulus diperkirakan mencapai lebih 60 persen dari total 32.000 kuota se-Jatim.

Jika dihitung yang lulus adalah 60 persen dari total kuota 2006 dan 2007, berarti ada 19.200 guru yang harus dibayarkan tunjangan profesinya. Karena jatah tunjangan profesi yang akan dibayar hanya 15.700 orang saja, maka 3.500 guru dipastikan tidak akan menerima haknya, yaitu tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok.

Sekretaris Umum PGRI Jatim Drs H Ichwan Sumadi MM mengaku sudah memprediksi adanya kemungkinan tersebut. Sejak awal pihaknya sudah sanksi kalau pemerintah sanggup membayar tunjangan profesi untuk guru yang lulus sertifikasi.
Kesangsian itu muncul terutama setelah mencermati UU 14/2005 tentang guru dan dosen pasal 83. Pasal ini menjelaskan, untuk melaksanakan sertifikasi guru, pemerintah harus membuat peraturan pemerintah (PP) selambat-lambatnya 18 bulan sejak UU 14/2005 ditetapkan 30 Desember 2005. Tapi hingga kini PP belum juga digedok. Padahal mestinya PP sudah harus ada sebelum 30 Juni 2007.

Karena tak bisa memenuhi amanat UU, pemerintah mesiasastinya dengan menerbitkan Permendiknas nomor 18/2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan. Permendiknas inilah yang menjadi payung hukum pelaksanaan sertifikasi guru kuota 2006 dan 2007. Padahal permen tidak sekuat PP. Hanya untuk internal Depdiknas dan tak bisa mengikat departemen lain, seperti keuangan. Karena yang namanya uang negara tak bisa dilepaskan dari departemen keuangan.
“Karena dasarnya hanya Permen dan bukan PP membuat tunjangan profesi yang sudah jadi hak guru yang lulus sertifikasi menjadi berlarut-larut dan tak jelas kapan dibayarkan. Sehingga kemungkinan kejadianya ya seperti sekarang ini, penerima tunjangan profesi dibatasi jumlahnya,” ujar Ichwan, Kamis (10/1).
Kasi Tenaga Pendidikan Menengah dan Umum Dinas P&K Jatim Achmadi mengatakan tunjangan profesi Rp 1,8 juta per bulan untuk 15.700 guru di Jatim yang lulus sertifikasi tersebut berasal dari dana dekonsentrasi APBN 2008 yang jumlahnya mencapai Rp 660 miliar. “Dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan lima program peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru. Salah satunya, ya untuk membayar tunjangan profesi 15.700 guru yang lulus sertifikasi,” jelasnya.
Sisanya, kata Achmadi dialokasikan untuk empat program lain. Yakni tunjangan fungsional 72.568 guru swasta alias non PNS yang besarnya Rp 250.000 per orang, beasiswa bagi 38.810 guru untuk memenuhi kualifikasi S1 yang tiap semesternya Rp 1 juta per orang, tunjangan 1.325 guru di daerah tertinggal sebesar Rp 1,35 juta per bulan setiap orangnya, dan memberi penghargaan 5.682 guru pensiun yang besarnya Rp 1,5 juta per orang. (Surya) Read More..

http://www.wikimu.com

Dinas Pendidikan Jangan Sibuk Urus Proyek

Minggu, 29-06-2008 15:39:33 oleh: bustaman007_alrauf
Kanal: Layanan Publik

Banda Aceh - Dinas Pendidikan diminta tidak lagi mengurus proyek fisik. Akan tetapi lebih memfokuskan peningkatan kualitas dan tenaga pendidikan.

"Hasil rapat kerja kami, Kobar GB meminta pemerintah Aceh agar Dinas Pendidikan hanya mengurusi peningkatan kualitas pendidikan. Tidak lagi sibuk mengurus proyek fisik," tegas Ketua Presidium Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar-GB) NAD Sayuthi Aulia di Banda Aceh, belum lama ini.

Menurut dia, karena sibuk mengurusi proyek fisik menyebabkan degradasi mutu pendidikan. Buktinya, grafik kelulusan siswa dalam ujian akhir nasional tahun 2008 menurun. Dan ini patut disayangkan di tengah melimpah ruahnya dana pendidikan.

Kecuali itu, kata Sayuthi, Kobar GB juga mendesak Gubernur NAD menerbitkan instruksi kepada Dinas Pendidikan, Kanwil Depag dan para bupati/wali kota, agar memberi akses dan informasi kepada setiap elemen masyarakat yang peduli terhadap pendidikan.

"Kita juga meminta pemerintah daerah melibatkan elemen masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan. Baik itu tahap perencanaan hingga evaluasi. Lampiran instruksi itu harus ditujukan kepada organisasi peduli pendidikan dan LSM antikorupsi," pinta Sayuthi.

Selain masalah urus proyek dan instruksi, kata Sayuthi, Kobar GB mendesak pemerintah Aceh agar Dinas Pendidikan NAD maupun kabupaten/kota mempermudah proses sertifikasi bagi guru nonsarjana yang telah lama mengajar di pedalaman.

"Dan juga mempermudah sertifikasi bagi para guru korban tsunami. Kami juga meminta pemerintah Aceh menentukan jam belajar guru selama 18 jam per minggu," sebut Sayuthi seraya mengatakan semua itu hasil rekomendasi raker Kobar GB beberapa waktu lalu. (Fajerul/Tejo Skotras Marpaung) Read More..

http://www.pikiran-rakyat.com

Pemda Ciamis Ajukan Dana Tunjangan Kependidikan
Senin, 08 September 2008 , 19:07:00

CIAMIS,(PRLM).-Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis mengajukan tambahan tunjangan kekurangan tenaga kependidikan kepada Menteri Keuangan Cq Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu, sebesar Rp 9.977.171.000,00. Anggaran tersebut untuk membayar tunjangan kependidikan, tunjangan fungsional guru dan akan ditambahkan dalam Dana Alokasi Umum (DAU) 2009.

"Kita sudah mengajukan tambahan anggaran untuk menutupi kekurangan membayar tunjangan kependidikan, dalam arti untuk tunjangan fungsional guru. Dengan kondisi seperti itu, kekurangan tunjangan fungsional untuk guru tidak bisa dibayarkan saat ini," ujar PLH Bupati Ciamis Dayat Hidayat didampingi Kabag Humas Pemkab. Ciamis Endang Sutisna, kepada "PRLM" Senin (8/9).

Dia mengungkapkan, hal itu berkenaan dengan adanya keinginan dari para guru agar sisa tunjangan fungsional selama sembilan bulan dapat dibayarkan sebelum lebaran. Dengan kenyataan seperti itu, maka pembayaran baru bisa dibayarkan apabila sudah ada tambahan DAU seperti yang telkah diusulkan oleh Pemkab Ciamis kepada pemerintah pusat.

"Kami pun ikut prihatin dengan kondisi seperti itu. Hanya saja karena prosedurnya seperti itu, maka langkah tersebut yang kita lakukan. Jadi sekali lagi tidak ada sedikitpun niat pemkab Ciamis menunda atau mengulur waktu, sebaliknya sangat peduli dengan nasib guru," tuturnya.

Dengan adanya usulan permohonan tambahan DAU, lanjut, Endang, maka tunjangan tahun 2009 maka dapat dipastikan akan cair, sesuai dengan tahun anggaran yang ada. Apabila kondisi keuangan APBD memungkinkan atau mencukupi, maka tidak akan terjadi kterlambatan pembayaran tunjangan fungsional guru. (A-101/A-50)*** Read More..

http://lomboknews.com/2008/09

0 tahun bakal memperoleh gaji minimal Rp 2 juta.
Kamis, 11 September 2008
Gaji Guru Capai Rp 6,9 Juta
Tunjangan Guru non-PNS Sarjana Minimal Rp 300 Ribu
JAKARTA – Tahun depan, tenaga pendidik benar-benar menjadi anak emas. Berkat lonjakan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2009, kesejahteraan guru semakin meningkat. Misalnya untuk guru pegawai negeri sipil (PNS) golongan II/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun bakal memperoleh gaji minimal Rp 2 juta.

’’Itu untuk menunjukkan komitmen kami terhadap penggunaan anggaran yang besar tersebut,’’ ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo setelah rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Jakarta, kemarin (10/9).

Dia menambahkan, untuk gaji guru PNS golongan IV/E besertifikat profesi bisa mencapai Rp 6,9 juta. Gaji tersebut, lanjutnya, belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan profesi untuk guru dengan sertifikat. Pemerintah, juga memberikan tunjangan fungsional untuk guru tetap non-PNS yang belum sarjana Rp 250 ribu per bulan, dan sarjana minimal Rp 300 ribu per bulan.

Pendapatan 30 ribu guru daerah terpencil juga akan ditingkatkan. Jika sebelumnya guru daerah terpencil yang besertifikat digaji Rp 2,29 juta pada 2008, tahun depan jumlahnya naik menjadi Rp 5,1 juta. Sementara guru daerah terpencil yang belum besertifikat yang sebelumnya mendapatkan Rp 2,29 juta, bakal ditambah menjadi Rp 3,6 juta tahun depan.

Bukan hanya guru, gaji dosen juga meningkat seiring naiknya anggaran pendidikan. Jika sebelumnya dosen pegawai negeri sipil golongan III/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun mendapat Rp 1,8 juta, tahun depan angkanya bertambah menjadi Rp 2,26 juta. Untuk guru besar yang berstatus PNS golongan IV/E besertifikat gajinya naik tajam dari Rp 5,1 juta menjadi Rp 13,5 juta.

’’Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, menempati porsi 27 persen dari anggaran pendidikan,’’ sebutnya.

Kenaikan anggaran pendidikan yang menjadi Rp 224,4 triliun pada RAPBN 2009 juga dimanfaatkan untuk percepatan penuntasan wajib belajar dari tingkat dasar hingga sekolah menengah. Menurut Mendiknas, anggaran pendidikan nanti akan terserap lebih dari 50 persen untuk program wajib belajar.

’’Kami gunakan anggaran untuk pendidikan menengah di Depdiknas maupun di Depag. Anggaran untuk pendidikan tinggi juga dinaikkan. Pendidikan nonformal juga kita naikkan, tapi tidak banyak,’’ tegasnya.

Kenaikan anggaran pendidikan, digunakan pula untuk peningkatan kesejahteraan peneliti dan perekayasa di luar Depdiknas. Depdiknas menyiapkan anggaran bagi peneliti non-PNS melalui skema yang diatur oleh Ditjen Pendidikan Tinggi.

Fungsi-fungsi pendidikan kedinasan yang dilakukan departemen lain seperti IPDN di Depdagri dan STAN di Depkeu tidak boleh memakai anggaran pendidikan karena tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

’’Anggaran itu tidak digunakan untuk lembaga pendidikan yang tidak dinaungi UU Sisidiknas,’’ tegasnya.

Ke depan, segera dibuat peraturan pemerintah (PP) tentang pendidikan kedinasan untuk mengatur peralihan penyelenggaraan pendidikan agar tunduk sepenuhnya pada UU Sisdiknas. (zul/oki/jpnn)

Dikutip dari Harian Kaltim Post Read More..

http://riau.depag.go.id

PEMOTONGAN ANGGARAN 15%, PERBEDAAN KESEJAHTERAAN GURU MENDAPAT PERHATIAN KHUSUS KOMISI VIII DPR-RI
24.02.2008 - 23:46 WIB Pemotongan Anggaran 15% dan perbedaan kesejahteraan guru agama pusat dan daerah yang ada selama ini mendapat perhatian khusus dari Komisi VIII DPR-RI. Permasalahan tersebut dituangkan dalam hasil Rapat dengar pendapat antara Komisi VIII DPR-RI dengan Kakanwil Departemen Agama Provinsi se-Indonesia yang dilaksanakan pada kamis malam 21 Februari 2008 bertempat digedung DPR RI. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi VIII DPR RI Drs. H. Hasrul Azwar MM membahas tentang : Realisasi Evaluasi Anggaran Tahun 2007; Implementasi DIPA Tahun 2008 dan Rencana Program; dan Anggaran Kanwil Departemen Agama Tahun 2009.

Sementara itu Kakanwil Departemen Agama Provinsi Riau Drs. H. Abdul Usman, M.Sc saat dikonformasi mengatakan, hearing yang dilaksanakan membahas tentang keluh kesah yang dirasakan Departemen Agama selama ini, seperti Kurangnya Sarana-prasarana kantor di daerah, penyetaraan pendidikan guru yang tidak berimbang, dan pemotongan anggaran sebesar 15 % yang dirasakan sangat memberatkan dan berpotensi mengganggu kinerja Departemen Agama serta pengangkatan Guru tenaga honorer menjadi PNS. Gafar Usman yang merupakan salah seorang mantan Anggota DPRD Provinsi Riau dua periode ini mengharapkan dengan adanya Rapat Dengar Pendapat ini dapat memberikan solusi terhadap kendala yang dihadapi selama ini.

Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi VIII DPR RI dengan Kakanwil Departemen Agama se Indonesia sebagai berikut :

1. Komisi VIII DPR RI memahami atas daya serap anggaran tahun 2007 pada Kanwil Departemen Agama se-Indonesia yang rata-rata mencapai 90,5%, adanya sisa anggaran lebih sekitar 9.5% pada tahun 2007 disebabkan oleh: (a) anggaran gaji pegawai yang tidak dapat dicairkan, (b) daya serap anggaran tidak optimal. Dan (c) adanya pemotongan biaya perjalanan sebesar 70% dari Departemen Keuangan RI.
2. Implementasi DIPA tahun 2008 yang telah terealisasi rata-rata sebesar (10-15) persen dari keseluruhan pagu anggaran dengan cukup bervariasi. Komisi VIII DPR-RI sepakat dengan Kanwil Departemen Agama se-Indonesia agar program dan anggaran 2008 harus memperhatikan skala prioritas.
3. Komisi VIII DPR-RI memperhatikan dengan sungguh-sungguh atas berbagai persoalan yang dihadapi di Kanwil Departemen Agama se-Indonesia, selanjutnya mendesak pada Departemen Agama RI agar segera melakukan langkah strategis dan mencari alternatif pemecahannya, diantaranya sebagai berikut :
a. Sangat kecilnya alokasi anggaran fungsi agama yang rata-rata kurang 5% dari keseluruhan anggaran, sehingga kurang selaras dengan visi dan misi Departemen Agama RI dalam rangka pembinaan kehidupan umat beragama;
b. Masih sangat kurangnya kebutuhan sarana dan prasana kantor di daerah, maka perlu segera dipenuhi kebutuhan tersebut dalam rangka peningkatan kinerja Departemen Agama RI;
c. Penyusunan anggaran menggunakan standar yang sama untuk seluruh provinsi, padahal dalam kenyataannya terdapat 7 (tujuh) provinsi kepulauan yang memiliki standar harga berbeda dengan berbagai provinsi lain dan aspek kesulitan dari aspek geografi yang berpengaruh terhadap aksesibilitas karena letaknya di daerah kepulauan dan provinsi dengan infrastruktur yang sangat terbatas, perlu dipertimbangkan tingkat kemahalan harga barang dan jasa;
d. Adanya program yang ditunda pelaksanaanya dipotong 15% dirasakan sangat memberatkan dan berpotensi menggangu kinerja;
e. Guru agama tidak mendapat bantuan tunjangan kinerja dari Pemda sebagaimana yang diterima guru dilingkungan Departemen Pendidikan Nasional, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial;
f. Kurangnya tenaga pendidik baik guru bidang studi maupun agama di daerah, sehingga diperlukan percepatan pengangkatan guru agama baik yang berasal dari guru honorer maupun rekrutmen baru;
g. Sertifikasi guru didominasi oleh portofolio yang bersifat teknis administratif dibandingkan aspek subtantif kualitatif. Sementara itu guru yang sudah disertifikasi belum menerima tunjangan fungsional, sedangkan guru di Depdiknas sudah menerima tunjangan fungsional;
h. Aparat KUA perlu memperoleh perhatian yang memadai seiring dengan penambahan beban tugas KUA, seperti beban memberikan bimbingan pada jamaah haji;
i. Nomenklatur organisasi Departemen Agama RI di pusat dan daerah berbeda, sehingga mempersulit realisasi program dan anggaran sebagai akibat dari perbedaan struktur pusat dan daerah.(nik) Read More..

http://hariansib.com/2008/06/17

Tunjangan Fungsional Guru
Posted in Berita Utama by Redaksi on Juni 17th, 2008

Jakarta (SIB)
Pemerintah pada pertengahan 2008 ini akan menyalurkan sekitar Rp209,3 miliar dana tunjangan fungsional guru kepada sekitar 135 ribu guru di seluruh Indonesia.
“Pemberian tunjangan fungsional itu didasarkan pada hasil sertifikasi pada 2007,” kata Deputi Kemeneg PPN/Bappenas bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Nina Sardjunani kepada ANTARA di Jakarta, Senin.
Ditambahkannya, tunjangan fungsional yang akan diterima tersebut besarnya bervariasi, namun secara rata-rata jumlahnya mencapai sekitar Rp1,5 juta per guru.
“Itu juga termasuk tunjangan fungsional bagi guru non PNS yang berada di Depdiknas, dan guru PNS yang di Departemen Agama,” katanya.
Sedangkan pada tahun depan, katanya, tambahan jumlah guru yang akan menerima tunjangan fungsional setelah lulus sertifikasi 2008 mencapai sekitar 465.000 guru.
“Besarannya kemungkinan tetap,” katanya.
Dengan demikian, pada 2009, pemerintah akan memberikan sejumlah tunjangan pada guru, yaitu tunjangan fungsional untuk PNS dan non PNS, tunjangan profesi, serta tunjangan bagi tenaga pengajar di daerah terpencil. (Ant/y) Read More..

http://www.denpasarkota.go.id

BERITA INSTANSI

Dana Tunjangan Pendidikan 2007 Cair 28 Desember
[ 28-12-2007 | 39 pembaca ]

JAKARTA--MEDIA: Dana tunjangan pendidikan sebesar Rp1,1 triliun yang disalurkan melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU) akan dicairkan 28 Desember 2007. Tunjangan untuk guru PNS ini jumlahnya ditingkatkan pada tahun 2008 menjadi Rp1,2 triliun.

Demikian dikatakan Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Depkeu Mardiasmo seusai acara peluncuran Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB) di Departemen Keuangan, Jakarta, Kamis (27/12).

Menurutnya, pencairan dana tunjangan pendidikan baru dilakukan Desember 2007 karena baru dimasukkan dalam APBN Perubahan 2007. Karena itu, pemberian dana Rp100 ribu per guru tiap bulannya baru diberikan Desember 2007.

Akhir tahun 2007, tepatnya tanggal 28 Desember ini, kita transfer dana ke seluruh daerah. Kita rapel 12 bulan. Besarnya Rp1,1 triliun. Tiap guru akan mendapatkan rapelan Rp1,2 juta, katanya.

Sedangkan untuk tahun 2008, dana tunjangan pendidikan Rp100 ribu per bulan melalui DAU ini akan diberikan setiap bulannya. Dana tunjangan pendidikan besarannya sama di masing-masing daerah tergantung jumlah guru PNS di daerah.

Pemberian dana tunjangan pendidikan ini diatur melalui Peraturan Presiden (Perpers) yang sudah keluar akhir November 2007. Selain itu, dikeluarkan juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur hal ini.

Di dalam peraturan tersebut, dana tunjangan pendidikan hanya diberikan kepada guru PNS. Guru bantu dan guru honorer tidak mendapatkan tunjangan ini.

Dana tunjangan pendidikan diberikan sesuai kesepakatan pemerintah dengan DPR bahwa ada tambahan tunjangan dana pendidikan ke seluruh kabupaten/kota. Tunjangan itu sendiri termasuk 20% anggaran pendidikan di dalam APBN.

Dengan pencairan dana tunjangan pendidikan ini, guru PNS golongan II yang berjumlah 169.001 mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp286.000 per bulan per orang. Golongan III mendapat Rp327.000 per bulan per orang. Golongan IV menjadi Rp389.000 per bulan per orang.

Dikutip dari : www.pendidikan.net Read More..

http://cetak.kompas.com

Dana Pendidikan
Pemerintah Harus Antisipasi Pendanaan Pendidikan Dasar
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 11:11 WIB

Bandung, Kompas - Pemerintah diimbau segera mengantisipasi pendanaan di tingkat pendidikan dasar yang kini tidak lagi menjadi beban masyarakat. Hal itu terkait dengan terbitnya Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang isinya mengatur pengalihan tanggung jawab pendidikan dasar dari masyarakat kepada pemerintah sepenuhnya.

Demikian salah satu hal yang mengemuka dalam audiensi pengurus komite sekolah dan guru dengan Komisi D DPRD Kota Bandung, Jumat (29/8). Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan Dan Satriana mengingatkan, masyarakat akan bersikap defensif jika dimintai dana oleh sekolah.

"Di lain pihak, sekolah tetap butuh dana masyarakat untuk operasional. Faktanya, dana APBD saat ini belum sepenuhnya memadai untuk menyesuaikan (dengan ketentuan PP)," kata Satriana di sela-sela audiensi.

Diprediksikan penentuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) yang masih berlangsung saat ini bakal alot menyusul terbitnya PP. Jika terjadi deadlock, kemungkinan sekolah akan menghemat biaya operasional. Forum Orangtua Siswa Bandung Raya sebelumnya telah bersikeras tidak akan membayar dana sumbangan pendidikan dan meminta dana dikembalikan apabila telah dibayarkan.

Guru tidak sejahtera

Dalam pertemuan yang hanya dihadiri seorang Anggota Komisi D DPRD Kota Bandung, Ahmad Nugraha, itu guru-guru yang tergabung dalam Koalisi Guru Bersatu Kota Bandung khawatir guru tingkat sekolah dasar dan menengah pertama bakal makin tidak sejahtera jika PP itu diimplementasikan tanpa kesiapan pemerintah. Sebab, selama ini guru mendapatkan insentif khusus yang dananya diperoleh dari pungutan masyarakat dan dianggarkan dalam APBS.

"Besarnya Rp 300.000-Rp 500.000 tiap bulan," ujar Ahmad Taufan, guru SDN Merdeka sekaligus Koordinator Koalisi Guru Bersatu Kota Bandung. Ia mengakui, dari struktur APBS, 60-70 persen anggaran lebih banyak digunakan untuk tunjangan khusus pimpinan sekolah, guru, dan kemaslahatan lain. Ini terpaksa dilakukan karena gaji yang diterima guru kurang mencukupi. "Gaji kotor guru-guru yang sudah senior saja hanya Rp 2,5 juta plus insentif-insentif itu. Padahal, standar biaya hidup yang ideal Rp 4 juta," tuturnya.

Menurut Suharti, guru SMPN 45 Kota Bandung, sebagai gantinya, pemerintah daerah semestinya menganggarkan tunjangan daerah yang lebih besar. Tunjangan sebesar Rp 200.000 yang diterima saat ini belum mencukupi jika dilihat dari risiko kehilangan insentif yang biasa diterima di sekolah. (jon) Read More..

http://www.vhrmedia.com

Guru Jatim ke Jakarta Tuntut Uang Makan
9 Juli 2007 - 17:25 WIB

Tri Wibowo Santoso

Jakarta - Lima ratusan guru SD dan SMP se-Jawa Timur berunjuk rasa menuntut realisasi uang makan Rp 10 ribu per hari. Unjuk rasa digelar di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Keuangan, DPR, dan Istana Negara Jakarta, Senin (9/7).



Juru bicara paguyuban guru se-Jatim, Mashudi, mengatakan, meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberian uang lauk-pauk bagi guru di seluruh Indonesia, kebijakan tersebut belum terealisasi sepenuhnya. Uang lauk-pauk hingga sekarang belum merata hingga daerah, terutama di Jawa Timur.



"Pemerintah jangan diskriminatif, dong. Kalau ngasih jatah makan buat para guru, jangan yang di pusat saja yang diperhatiin," ujarnya di gedung DPR, hari ini.



Menanggapi unjuk rasa para guru, staf Menteri Pendidikan Nasional, Nurjaman, menjanjikan akan merealisasikan tuntutan dengan menaikkan tunjangan fungsional. "Kita akan terus perjuangkan nasib para guru, selama aksinya tidak anarkis. Bahkan kita akan menaikkan tunjangan fungsional sebesar 20%," katanya.



Dalam unjuk rasa itu paguyuban guru juga mempertanyakan belum terealisasinya penambahan anggaran pendidikan 20% dari APBN tahun 2006-2007. (E1)



©2008 VHRmedia.com Read More..

http://www.nad.go.id

Guru Madrasah Di Banda Aceh PDF Cetak E-mail

24-Augustus-2006 07:57:30
Waspada Online - Guru-guru madrasah di Kota Banda Aceh mengancam akan melakukan aksi mogok mengajar, jika berbagai persoalan yang kini melilit di lembaga pendidikan di jajaran Kandepag Kota Banda Aceh itu tidak segera diselesaikan.

Demikian hasil rapat koalisi lintas sektoral organisasi guru di Provinsi NAD yang diikuti Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar-GB), Asosiasi Guru NAD (ASGU-NAD), Forum Komunikasi Guru (FKG), Jaringan Demokrasi Guru Aceh (JDGA), Gerak Aksi Guru Muda (GARDA), Persatuan Guru Kontrak Unicef (PGKU), Persatuan Guru Bakti (PGB) dan Bapel Kobar-GB Kota Banda Aceh.

Ketua Kobar-GB NAD, Sayuthi Aulia, kepada Waspada di Banda Aceh, Rabu (23/8) mengatakan, pertemuan lintas sektoral organisasi guru ini dilakukan menindaklanjuti banyaknya mengenai berbagai kasus yang telah menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan pendidik dan orangtua murid.

Persoalan itu antara lain belum diberikannya dana kesejahteraan (tunjangan khusus atau TC) bagi para guru madrasah, pengutipan-pengutipan ilegal mulai dari tingkat MIN, MTsN sampai MAN, serta kebijakan keliru lainnya yang dilakukan Kakandepag Kota Banda Aceh dan sejumlah kepala sekolah.

Mengenai dana TC, Sayuthi menyebutkan, sampai saat ini belum diberikan sebagaimana yang diberikan kepada para guru di jajaran Dinas Pendidikan. Hal ini, menurut dia, membuat guru-guru madrasah merasa dianaktirikan. Padahal, mereka melakukan pekerjaan yang sama, yakni mendidik anak bangsa ini agar cerdas dan berilmu pengetahuan.

Kemudian, adanya pengutipan dana kesejahteraan sekolah sebesar Rp.25 ribu per bulan bagi setiap siswa di MAN Model, sehingga sekolah itu terkesan hanya untuk kalangan atas, karena masyarakat kelas bawah tidak mampu bayar SPP.

�Begitu juga dengan pengutipan uang cat gedung MTsN sebesar Rp.5.000 per siswa dan menyuruh siswa mengecat gedung, serta pengutipan uang sampah Rp.1.000 per siswa di MIN Jambo Tape. Padahal, pengecatan dan pemeliharaan gedung sekolah negeri merupakan tanggungjawab pemerintah,� katanya.

Dari berbagai persoalan yang yang melilit lembaga pendidikan di jajaran Depag Kota Banda Aceh ini, delapan organisasi guru yang melakukan pertemuan itu meminta Kankandepag Kota Banda Aceh untuk segera melakukan klarifikasi dan pembenahan terhadap kebijakannya.

�Jika dalam tempo satu minggu hal ini tidak ditanggapi, para guru madrasah di Kota Banda Aceh mengancam akan melakukan aksi mogok belajar, serta mendesak Kakanwil Depag NAD untuk segera mencopot Kakandepag Kota Banda Aceh dari jabatannya,� ungkap Sayuthi Aulia, yang menjadi jubir kelompok organisasi guru itu.

Menyesalkan

Kepala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) Kota Banda Aceh, Drs Aiyub Ahmad yang dikonfirmasi Waspada, menyesalkan sikap para guru yang tidak mengkonfirmasi kepadanya tentang laporan persoalan yang diterima dar guru, wali murid dan siswa.

Menurut dia, dana kesejahteraan (dana TC) bagi guru madrasah memang tidak ada dialokasikan dalam APBD 2006 Kota Banda Aceh dan pembayarannyatergantung kemampuan dana daerah masing-masing. Sedang Kandepag mengacu kepada kebijakan Menteri Agama. �Jadi, sungguh keliru kalau mereka mogok, karena gaji mereka selama ini tidak pernah ditahan,� jelas Aiyub.

Terkait kebijakan pemutasian yang dilakukan terhadap kepala sekolah, dia menyebutkan selama ini mengacu kepada Undang-undang Pokok Kepegawaian dan semua itu dilakukan semata-mata untuk penyegaran, agar tidak merasa bosan karena terlalu lama menduduki suatu jabatan.

Begitu juga tentang pengutipan dana kesejahteraan di sejumlah madrasah, Aiyub mengaku selama ini belum ada dan belum pernah mendapat atau mendengar keluhan dari satu orangpun wali murid ke Kantor Depag Kota Banda Aceh.

Pengutipan terhadap siswa untuk pemeliharaan sekolah, menurut dia, dilakukan selama dana BOS belum turun. Namun setelah dana BOS turun tidak ada pengutipan terhadap siswa. �Sedangkan pelibatanmurid dalam upaya pemeliharaan sekolah, hanya dalam rangka menggerakkan kegiatan gotong royong di kalangan siswa� . Read More..

http://beritasore.com/2007/08/28

Alokasi Anggaran Depag Untuk Tunjangan Fungsional Guru Dipertanyakan

28 Agustus 2007 | 10:42 WIB

Jakarta ( Berita) : Anggota komisi VIII DPR Mesir Suryadi dari Fraksi Golongan Karya mempertanyakan alokasi anggaran yang digunakan Departemen Agama (Depag) untuk menutup kekurangan pembayaran tunjangan fungsional guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Madrasah, Ibtidaiyah, dan Tsanawiyah sebesar Rp. 224,304 Milyar.

Hal itu disampaikan Mesir pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Sekretaris Jenderal Departemen Agama dalam pembahasan Rencana Kerja Anggaran Kementrian Lembaga Tahun 2008 yang dipimpin Wakil Ketua HM, Said Abdullah dengan didampingi Ahmad Farhan Hamid (F-PAN) dan Yoyoh Yusroh (F-PKS), di Gd. Nusantara II, Senin (27/9).

“Jangan sampai realokasi dana tunjangan fungsional guru non PNS tersebut mengganggu kinerja departemen agama yang telah di anggarkan,” ujarnya.

Menanggapi pernyataan anggota Komisi VIII itu, Sekretaris Jenderal Depag Bahrul Hayad menjelaskan bahwa sesuai kesepakatan antara Depag, Bappenas, Departemen Keuangan, dan Depdiknas bahwa besaran tunjangan fungsional guru non PNS tahun anggaran 2008 sebesar Rp. 300.000,- per orang per bulan.

Menurut Bahrul, anggaran tunjangan fungsional guru non PNS yang telah tersedia dalam Pagu Sementara adalah sebanyak 350.000 guru dengan total anggaran sebesar Rp. 1,2 Trilyun.

Sedangkan untuk total kebutuhan anggaran tunjangan fungsional guru non PNS di lingkungan Depag adalah sebesar Rp. 1,8 Trilyun. Dengan demikian, ujar Bahrul, untuk menutup kekurangan tunjangan fungsional guru non PNS masih terdapat kekurangan anggaran sebesar Rp. 546,5 Miliar.

Untuk mengatasi kekurangan tersebut, pihaknya akan merelokasi anggaran sebesar Rp. 224,3 Miliar dari belanja barang tidak mengikat sesuai Surat Edaran Menteri Keuangan No. SE 470/MK.02/2007 tanggal 12 Juli 2007.

Dengan adanya realokasi tersebut maka kekurangan anggaran tunjangan fungsional guru non PNS menjadi Rp. 322,2 miliar. “Kami mohon dapat dipenuhi melalui tambahan anggaran pada pagu definitive tahun 2008,” katanya. Read More..

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/20

Anggaran pendidikan
Rp 14,4 Triliun untuk Kesejahteraan Guru
Rabu, 20 Agustus 2008 | 00:17 WIB

Jakarta, Kompas - Departemen Pendidikan Nasional akan mengusulkan penambahan anggaran sebanyak Rp 14,4 triliun untuk peningkatan kesejahteraan guru dan dosen. Anggaran tersebut merupakan bagian dari total penambahan anggaran pendidikan sebesar Rp 46,1 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009.

Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Dodi Nandika, Selasa (19/8) di Jakarta, mengatakan, peningkatan kesejahteraan guru itu berupa tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan tunjangan fungsional.

Akan tetapi, rapat koordinasi yang dipimpin Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Selasa di Istana Wapres, belum membahas secara rinci dan spesifik pemanfaatan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari total belanja negara di RAPBN 2009. Oleh karena itu, Wapres meminta agar pembahasan rancangan anggaran tersebut pekan depan lebih terinci dan spesifik.

”Mendiknas dan Sekretaris Jenderal Departemen Agama tadi menyampaikan pemaparan anggaran tambahan. Namun, tidak secara spesifik rincian anggarannya,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, saat ditanya pers seusai mewakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat di Istana Wapres.

Dalam dokumen Departemen Keuangan, dari total anggaran pendidikan Rp 224,4 triliun, sebanyak Rp 134,8 triliun dialokasikan untuk anggaran pendidikan di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Untuk gaji pendidik dalam anggaran Depdiknas, Departemen Agama, dan dana alokasi umum (DAU) mencapai Rp 89,5 triliun.

Anggota Komisi X DPR, Ruth Nina Kedang (Fraksi Partai Damai Sejahtera), mengatakan, DPR mendukung kenaikan anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari total APBN 2009. Dia berharap pemerintah konsisten dalam merealisasikannya.

”Jangan seperti APBNP 2008, tiba-tiba ada pemotongan anggaran dan anggaran sektor pendidikan dipotong sepuluh persen,” ujarnya. (HAR/INE) Read More..

http://www.dpr.go.id, 27 Agustus 2007

KOMISI VIII DPR PERTANYAKAN TUNJANGAN FUNGSIONAL GURU NON PNS SEBESAR Rp. 224,304 MAL
Tanggal : 27 Aug 2007
Sumber : dpr.go.id

dpr.go.id,





Anggota komisi VIII DPR Mesir Suryadi dari Fraksi Golongan Karya mempertanyakan alokasi anggaran yang digunakan Departemen Agama (Depag) untuk menutup kekurangan pembayaran tunjangan fungsional guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Madrasah, Ibtidaiyah, dan Tsanawiyah sebesar Rp. 224,304 Milyar.

Hal itu disampaikan Mesir pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Sekretaris Jenderal Departemen Agama dalam pembahasan Rencana Kerja Anggaran Kementrian Lembaga Tahun 2008 yang dipimpin Wakil Ketua HM, Said Abdullah dengan didampingi Ahmad Farhan Hamid (F-PAN) dan Yoyoh Yusroh (F-PKS), di Gd. Nusantara II, Senin (27/9).

“Jangan sampai realokasi dana tunjangan fungsional guru non PNS tersebut mengganggu kinerja departemen agama yang telah di anggarkan,” ujarnya.

Menanggapi pernyataan anggota Komisi VIII itu, Sekretaris Jenderal Depag Bahrul Hayad menjelaskan bahwa sesuai kesepakatan antara Depag, Bappenas, Departemen Keuangan, dan Depdiknas bahwa besaran tunjangan fungsional guru non PNS tahun anggaran 2008 sebesar Rp. 300.000,- per orang per bulan.

Menurut Bahrul, anggaran tunjangan fungsional guru non PNS yang telah tersedia dalam Pagu Sementara adalah sebanyak 350.000 guru dengan total anggaran sebesar Rp. 1,2 Trilyun.

Sedangkan untuk total kebutuhan anggaran tunjangan fungsional guru non PNS di lingkungan Depag adalah sebesar Rp. 1,8 Trilyun. Dengan demikian, ujar Bahrul, untuk menutup kekurangan tunjangan fungsional guru non PNS masih terdapat kekurangan anggaran sebesar Rp. 546,5 Miliar.

Untuk mengatasi kekurangan tersebut, pihaknya akan merelokasi anggaran sebesar Rp. 224,3 Miliar dari belanja barang tidak mengikat sesuai Surat Edaran Menteri Keuangan No. SE 470/MK.02/2007 tanggal 12 Juli 2007.

Dengan adanya realokasi tersebut maka kekurangan anggaran tunjangan fungsional guru non PNS menjadi Rp. 322,2 miliar. “Kami mohon dapat dipenuhi melalui tambahan anggaran pada pagu definitive tahun 2008,” katanya.



Pagu Sementara Depag Rp. 16 Trilyun

Departemen Agama dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (RAPBN) Tahun 2008 memperoleh anggaran Pagu Sementara sebesar Rp. 16 Trilyun. Pagu sementara tersebut sama dengan Pagu Indikatif yang akan digunakan untuk kegiatan prioritas 5 fungsi dan 21 program.

Menurut Bahrul, penyusunan rencana kerja dan anggran Depag tahun 2008 dilaksanakan dengan mengacu kepada beberapa hal, diantaranya Prioritas program dan kegiatan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008, dan Renstra Tahun 2005-2009.

Selain itu, Depag juga mengacu kepada penyediaan anggaran operasional, penyediaan dana pendamping dan pinjaman/hibah luar negeri (PHLN), dan penyediaan belanja pegawai. (da) Read More..

http://www.garutkab.go.id, 30 Juni 2008

Pemkab Butuh 18 Miliar Untuk Bayar Tunjangan Fungsional

Terlambatnya pembayaran tunjangan fungsional untuk guru yang senin (23/6) kemarin hanya dibayar 3 bulan, ternyata anggaran yang ada di Pemkab tidak cukup untuk membayar tunjangan Fungsinonal (Tunfung) yang membutuhkan anggaran Rp. 18 miliar.

Dikatakan Kepala Bidang Perencanaan dan Penganggaran Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Pemkab Garut Heri Suherman kemarin, untuk membayar tunjangan fungsioonal secara keseluruhan untuk guru-guru sebesar Rp. 18 miliar, tapi anggaran tersebut tidak tersedia,” tandasnya.

Pasalnya menurut Heri, legalitas tunjangan fungsional itu sendiri seperti Keputusan Presiden yang mengatur hal tersebut diterimanya bulan Pebruari 2008, dan Surat Edaran Departemen Keuangan diterima pihak Pemkab Garut pada bulan mei 2008, “jadi kita terlambat menganggarkan dalam APBD murni,” tandasnya.

Disebutkan Heri, dana yang ditransfer per 31 Desember oleh pemerintah pusat unuk pembayaran tunjangan fungsional itu sebesar Rp. 8,181 miliar. Anggaran untuk membayar tunjangan fungsional bulan Januari hingga bulan maret 2008 sebesar Rp. 3,661 miliar, “kebutuhan itu belum naik karena pada bulan april tunjangan sudah naik, dan jika naik kebutuhan anggaran untuk tunjangan fungsional itu mencapai Rp. 4,877 miliar, berarti kita minus anggaran untuk tunjangan fungsional mencapai Rp. 1,208 miliar, dan kta disuplai paska kenaikan itu sebesar Rp. 726 juta jadi kita masih minus kekurangan anggaran setelah kenaikan itu sebesar Rp. 481,5 juta,” sebutnya.

Ditambahkan Heri, adapun pembayaran tunjangan fungsional yang hanya 3 bulan tersebut, disebabkan pihak pemkab masih kekurangn anggaran, “saat kita hitung ada selisih sebesar Rp. 3,665 miliar dan itu kita hitung-hitung untuk pembayaran tunjangan fungsional itu sebesar Rp. 100 ribu perbulan, sedangkan untuk pembayaran tahun 2007 kita membutuhkan anggaran sebesar Rp. 14 miliar,” sebut Heri.

Kekurangan itu pun sudah diajukan kepada pihak pemerintah pusat, “kita sudah mengupayakan kekurangan itu ke pemerintah pusat, dan kita juga akan berupaya untuk mengajukan dalam perubahan anggaran,” tandasnya.

Namun hal tersebut, ditegaskan kembali oleh Ketua Forum Guru-Guru Garut Drs Dadang Djohar, pihaknya tidak akan menerima lagi tunjangan fungsional bila dibayarnya kembali hanya 3 bulan, “jika nanti terbukti hanya 3 bulan kami akan kumpulkan kembali uang itu dan akan dikembalikan lagi dan kami tidak akan menerima uang tersebut,” tegasnya.
sumber: MB, garutkab.go.id,
sejak dipublikasi 30/06/2008, Read More..